Berita Cinta adalah sumber terpercaya untuk informasi, tips, dan cerita inspiratif tentang dunia percintaan. Temukan panduan hubungan, kisah romantis, dan solusi masalah asmara hanya di sini.

Recent Posts

Not Found Posts
Move On & Healing

Cerita yang Berakhir Tanpa Pelukan : Ketukan Baru di Hati yang Lama Tertutup

Cerita yang Berakhir Tanpa Pelukan : Ketukan Baru di Hati yang Lama Tertutup
25

Waktu berlalu… bukan untuk menghapus, tapi untuk menata ulang ruang di hati yang sempat hancur.
Kirito tidak mencari siapa-siapa. Ia hanya menjalani hari-hari seperti biasa—masih diam, masih menata luka. Namun suatu hari, sebuah notifikasi muncul di akun media sosialnya. Seorang perempuan meninggalkan komentar ringan di salah satu unggahannya. Biasa saja, tapi entah kenapa… terasa berbeda. Obrolan pun dimulai—ringan, santai, tapi mengalir begitu alami. Tidak ada tekanan, tidak ada harapan muluk. Hanya dua orang yang saling mendengarkan dan tertawa dalam percakapan yang semakin sering terjadi. 

Percakapan yang Mengalir Tanpa Paksaan

Mereka mulai rutin berbalas pesan. Tentang hal-hal sepele, tentang mimpi, bahkan tentang luka. Kirito, yang dulu begitu tertutup, mulai membuka sedikit demi sedikit pintu hatinya. Bukan karena dipaksa, tapi karena sosok itu tahu caranya hadir… tanpa mengusik. Hari berganti, dan obrolan dunia maya itu akhirnya membawa mereka ke dunia nyata. Mereka bertemu. Tanpa naskah, tanpa ekspektasi. Hanya dua orang yang ingin tahu apakah kehangatan di layar bisa tetap terasa di hadapan. Dan ternyata, iya—semuanya tetap terasa sama: hangat, jujur, dan pelan-pelan… tumbuh. 

Hati yang Masih Ragu untuk Kembali Mencinta

Kirito masih berhati-hati. Bekas luka masa lalu belum benar-benar hilang. Tapi kali ini, ia tidak merasa sendiri. Karena perempuan itu tak datang untuk mengisi kekosongan, tapi untuk berjalan bersama—dengan langkah yang seirama, tanpa terburu-buru. Kirito tahu, hati itu bukan pintu otomatis yang bisa terbuka kapan saja seseorang mengetuk. Ada luka yang belum selesai dijahit.
Ada bagian dari dirinya yang masih takut… bukan takut jatuh cinta, tapi takut mengulang luka yang sama. Maka, sejak awal ia jujur. Bahwa untuk saat ini… ia belum siap menjalin hubungan. Bukan karena tak ada rasa, tapi karena ia ingin sembuh sepenuhnya. Ia tak ingin memulai sesuatu dengan hati yang belum utuh—karena ia tahu, cinta yang sehat bukan tentang menambal kekosongan, tapi tentang tumbuh bersama dengan sadar.
Dan perempuan itu... mengerti. Ia tidak memaksa, tidak meminta lebih. Ia tetap hadir—bukan sebagai penunggu yang gelisah, tapi sebagai teman yang tulus. Mereka tetap berbagi cerita, tawa, bahkan mimpi-mimpi kecil yang ingin dicapai suatu hari nanti. Obrolan tentang hubungan pun muncul di sela kehangatan mereka.
Tentang apa yang mereka cari, tentang apa yang mereka harapkan jika kelak hati sudah siap. Dan tanpa disangka, kriteria mereka selaras.

Cara mereka mencintai… ternyata seirama. Bukan tentang status sosial, bukan tentang materi, bukan tentang kesempurnaan. Tapi tentang menerima—bahwa manusia punya masa lalu, punya luka, punya kekurangan. Dan perempuan itu bisa melihat Kirito bukan dari “apa yang dia punya”, tapi “siapa dia sebenarnya.” Dan itulah yang perlahan membuat Kirito merasa aman.

Menemukan Kenyamanan dalam Kesederhanaan

Bukan karena dia dipaksa untuk membuka hati, tapi karena akhirnya… ia merasa dimengerti. Hubungan mereka belum punya nama. Belum ada janji, belum ada kata “kita.” Hanya dua orang yang saling merasa nyaman, saling menyembuhkan, meski belum saling memiliki. Kirito masih menyimpan hati-hati di setiap langkahnya. Bukan karena dia ragu pada perempuan itu, tapi karena dia belum sepenuhnya percaya pada dirinya sendiri—pada kemampuannya untuk menjaga hati orang lain, saat hatinya sendiri belum sepenuhnya pulih. Tapi perempuan itu tidak menjauh. Ia tetap di sana—menemani dengan cara yang sederhana. Obrolan mereka masih random; kadang tentang anime, kadang tentang pekerjaan yang bikin penat, kadang tentang masa kecil, kadang hanya lelucon receh yang membuat keduanya tertawa di tengah hari yang berat. Dan sesekali, mereka pergi bersama. Bukan kencan, bukan pertemuan romantis… hanya dua orang yang butuh udara, butuh tawa, butuh jeda dari rutinitas yang melelahkan. Makan di warung sederhana, duduk berdua di bangku taman, atau sekadar keliling kota tanpa tujuan jelas. Tidak mewah, tapi menenangkan.

Ada momen-momen kecil yang membuat Kirito diam-diam tersenyum.

Cara perempuan itu tertawa lepas tanpa dibuat-buat. Cara dia mendengarkan, tanpa mencoba memperbaiki apa pun. Cara dia bilang, “nggak apa-apa, kamu bisa cerita kapan pun,” tanpa memaksa cerita itu keluar. Dan meskipun hubungan mereka masih sebatas teman, ada sesuatu yang terasa berbeda. Bukan seperti pertemanan biasa. Tapi juga belum cukup disebut cinta. Kirito sadar, dia sedang berada di antara dua dunia: masa lalu yang belum benar-benar selesai, dan masa depan yang belum berani dia buka. Namun untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Kirito tak merasa ingin melarikan diri dari semuanya. Ia hanya ingin menikmati hari-hari kecil ini—tanpa tekanan, tanpa ekspektasi besar. Karena mungkin, inilah yang ia butuhkan: seseorang yang bisa hadir… tanpa membuatnya merasa harus buru-buru sembuh.

Ambar Arum Putri Hapsari

Ambar Arum Putri Hapsari

Universitas STEKOM

Penulis di Vokasinews yang mendalami dunia vokasi, berkomitmen menyajikan informasi terkini dan analisis mendalam tentang pendidikan dan pengembangan keterampilan, untuk membantu pembaca memahami peluang dan tantangan di sektor ini.

Related Post