Hari pertama N masuk kantor, suasana tiba-tiba terasa berbeda. Ada sesuatu dari dirinya, cara berbicara yang tenang, senyum yang tulus, sorot mata yang lembut, semua itu seperti membawa angin baru dalam hidupku yang biasanya datar dan penuh rutinitas.
Aku, yang biasanya tenggelam dalam kerjaan dan jarang peduli pada lingkungan sekitar, tiba-tiba ingin tahu lebih banyak tentang seseorang. Tentang dia.
“N, ya?” sapaku waktu itu.
“Iya, aku baru pindah dari Jatim,” jawabnya dengan senyum tipis yang entah kenapa langsung tinggal di pikiranku.
Sejak hari itu, segalanya berubah bagiku. Aku mulai datang ke kantor lebih awal, berharap bisa menyapa duluan. Aku mencocokkan waktu istirahatku dengannya. Bahkan mulai sering menawarkan bantuan dan berbagi cemilan lembur, hanya untuk bisa berbicara lebih banyak dengannya.
Aku tak pernah mengatakan apapun soal perasaan ini. Tapi di dalam hati, aku menyimpan harapan. Mungkin... ini bisa jadi awal dari sesuatu yang lebih.
Ketika Kenyataan Menghentikan Langkah
Sampai suatu malam, ketika kami hanya berdua tersisa di kantor setelah lembur, aku memberanikan diri. Bukan dengan gombal, bukan dengan janji manis, hanya sebuah pertanyaan yang selama ini menggantung di hatiku.
“N... boleh nanya sesuatu?”
“Hm? Boleh.”
“Kamu... udah punya cowok belum?”
Dia terdiam. Lalu tersenyum lembut, senyum yang biasanya menenangkan, tapi malam itu justru menghantam begitu keras.
“Ada, R. Kami LDR... dia masih di Jatim.”
Sejenak, aku kehilangan napas. Hatiku runtuh dalam diam. Tapi aku harus tetap terlihat biasa.
“Oh... iya. Gapapa. Maaf, aku cuma penasaran.”
Dia hanya tertawa kecil. Tak tahu bahwa dalam tawanya, ada hati yang diam-diam patah di sebelahnya.
Malam itu aku pulang dengan kepala kosong. Bukan marah. Bukan kecewa pada siapa pun. Aku hanya kecewa pada diriku sendiri, karena terlalu percaya pada tanda-tanda kecil, terlalu berharap pada perhatian yang mungkin hanya bentuk kebaikan biasa.
Cinta yang Tak Pernah Dimiliki
Di kamar, aku menatap layar handphone yang kosong. Tak ada notifikasi dari dia. Tak ada yang bisa kulakukan, selain menelan kenyataan bahwa aku memang harus melepaskan sesuatu... yang bahkan belum pernah kumiliki.
Sakit. Tapi aku tahu, itu bukan salah siapa-siapa. Cinta kadang datang tanpa arah, dan kadang harus pergi tanpa alasan. Dan cinta diam-diam ini... ternyata memang hanya sebatas harapan.
Saat Harus Melepas Sebelum Memiliki
Aku menyukainya. Sangat. Tapi kadang, mencintai juga berarti tahu kapan harus berhenti berharap. Kadang kita harus menerima bahwa tidak semua perasaan dibalas, tidak semua kedekatan berarti peluang.
Meskipun aku belum pernah memilikinya, aku tetap harus belajar melepaskannya.