Kisah ini bermula dari hal yang cukup sederhana: sebuah beasiswa. Aku adalah salah satu penerima beasiswa di sebuah universitas di kotaku. Bukan universitas impianku, memang. Tapi aku benar-benar bersyukur bisa mendapatkan kesempatan ini. Yang membuatnya lebih menyenangkan, universitas ini memberikan fleksibilitas untuk kuliah sambil bekerja. Dan ya, aku memanfaatkan kesempatan itu untuk bekerja di sebuah PT di kota yang sama.
Segalanya tampak biasa saja... sampai satu hari, sebuah pesan masuk. Dari dia.
Seorang rekan kerja, yang saat itu mengirimkanku jadwal acara kantor lewat chat. Aku mengucapkan terima kasih, dan dia membalasnya dengan candaan ringan, "Nanti dapet hadiah, loh." Aku menanggapi dengan tanya, “Hadiah apa?” dan dari situlah, semuanya berubah. Basa-basi sederhana berubah jadi rutinitas harian. Kami mulai bertukar kabar, berbagi cerita, bahkan saling mengirimkan foto kegiatan, tapi hanya di chat saja. Akrab, tapi tidak pernah benar-benar dekat secara fisik.
Aneh Tapi Manis: Dekat Tapi Tak Pernah Bicara
Lucunya, meskipun kami chat-an hampir setiap hari dan bahkan sering sleep call, saat bertemu langsung… kami seperti orang asing. Tidak pernah saling menyapa, bahkan menatap matanya pun rasanya seperti misi mustahil. Tapi aku menikmatinya. Ada sesuatu yang manis dari hubungan yang setengah nyata ini.
Karena penasaran, aku sempat bertanya pada temanku tentang dia. Kutunjukkan fotonya, dan temanku bilang, “Oh, dia duduk di sebelahku kok.” Dari situ aku tahu namanya, sebut saja Angga. Dan semenjak itu, rasa penasaran berubah jadi perhatian. Lama-lama jadi ketertarikan.
Pertemuan Pertama yang Bikin Deg-degan
Satu hari, kantor mengadakan acara di mana kami harus menyumbangkan ide. Dengan percaya diri (dan sedikit deg-degan), aku mengajak Angga untuk ketemuan langsung dan berdiskusi. Itulah kali pertama kami bertemu secara nyata. Duduk berdua, saling menatap, mengobrol tanpa layar sebagai penghalang. Dan... aku merasa nyaman. Salting, deg-degan, tapi senang.
Pertemuan itu seperti membuka lembaran baru dalam cerita kami. Walaupun tetap, setelahnya kami kembali ke mode semula: hanya dekat lewat pesan. Tidak ada yang berubah secara fisik, kami tetap tak banyak bicara di kantor. Tapi obrolan digital kami tetap hangat.
Tentang Rasa yang Tak Punya Nama
Satu hal yang kadang menyiksa dari semua ini adalah rasa cemburu yang datang diam-diam. Apalagi saat melihat dia ngobrol dengan cewek lain di kantor. Rasanya... nyesek. Tapi aku sadar betul, aku nggak punya hak untuk marah atau menuntut apapun. Kami tidak sedang pacaran. Kami bahkan bukan something. Tapi begitulah perasaan, kadang suka nggak tahu diri.
Namun dari semua rasa yang bercampur itu, satu hal yang paling aku syukuri adalah bisa bertemu dengannya. Angga. Cowok yang pintar, tampan, menyenangkan, dan hadir pada waktu yang tepat. Walaupun hanya sebatas teman kerja dan teman chat, tetap saja... hatiku sudah mengenalnya lebih dalam.
Mungkin Ini Baru Awal
Mungkin kisah ini belum bisa disebut cinta. Tapi kalau rasa bahagia, nyaman, deg-degan, dan senyum tanpa sebab tiap kali namanya muncul di layar itu bukan cinta... maka biarkan aku menyebutnya butterfly era. Masa-masa di mana kehadirannya cukup untuk membuat hari-hariku jadi lebih berbunga.
Kalau suatu hari rasa ini tumbuh lebih dalam, biarlah waktu yang menjawab. Tapi untuk saat ini... aku hanya ingin menikmati kisah ini sebagaimana adanya. Tanpa label, tanpa paksaan. Hanya rasa yang tulus... yang datang pelan-pelan.