Aku pernah mencintai seseorang dengan begitu dalam. Dia adalah cowok pertama yang membuatku benar-benar merasa dicintai, dihargai, dan dilindungi. Saat masa SMK, tahun pertama hubungan kami berjalan sangat manis. Tak ada tanda-tanda yang membuatku curiga atau kecewa. Dia tidak pernah selingkuh, tidak main perempuan, bahkan tidak friendly ke cewek lain. Rasanya seperti mimpi yang jadi nyata.
Dia juga menjadi cowok pertama yang berani datang ke rumah dan menemui orang tuaku. Dari situlah aku mulai percaya, mungkin inilah orangnya. Orang yang akan aku perjuangkan sepenuh hati. Saking sayangnya aku, aku bahkan pernah berpikir, "Kalau dia selingkuh pun aku akan tetap sama dia."
Terlalu sayang juga bisa jadi bumerang.
Cinta yang awalnya hangat berubah menjadi dingin dan menyesakkan. Setelah satu tahun berlalu, dia mulai berubah. Perkataannya kasar, dia tak lagi menjaga lisan di hadapanku. Kata-kata hinaan keluar dengan mudah dari mulutnya. Tapi aku tetap bertahan. Aku bilang ke diri sendiri, "Dia cuma lagi capek. Dia pasti berubah."
Aku bertahan di situasi toxic itu selama hampir tiga tahun. Setiap pertengkaran selalu aku yang mengalah. Saat dia salah, aku yang minta maaf. Bahkan saat aku benar pun, aku tetap diam demi tidak kehilangan dia.
Pada akhirnya, dia yang melepaskanku.
Dia bilang ingin memperbaiki diri, ingin lebih baik. Padahal aku sudah merasa memberi semua yang aku punya, menerima semua buruknya. Ketika dia pergi, aku bingung. Aku merasa gagal. Aku bertanya-tanya, "Apa aku kurang cantik? Kurang baik? Kurang sabar?"
Waktu berjalan. Aku masih belum bisa ikhlas, hingga pada satu titik aku marah. Aku sempat berkata padanya, "Kamu kalau nggak sama aku, nggak akan ada cewek yang mau sama kamu."
Dan entah takdir atau semesta memang mendengarkan, selama enam bulan setelah kami putus, dia memang tidak berhasil menjalin hubungan dengan siapa pun. Dia mencoba mendekati banyak cewek, tapi selalu gagal. Hingga akhirnya dia kembali menghubungiku. Dia meminta maaf dan mengaku, "Maaf ya dulu pernah jahat. Aku coba deketin cewek berkali-kali tapi nggak ada yang berhasil."
Dengan bodohnya, aku memaafkannya. Tapi ternyata, tidak lama setelah itu, dia berhasil mendapatkan pacar baru. Cewek yang cantik, tinggi, pintar, bisa nyanyi, main gitar, berenang, dan bahkan bisa futsal. Lengkap.
Mereka menjalin hubungan selama dua atau tiga tahun, namun pada akhirnya mereka pun kandas. Alasannya? Dia tetap toxic. Tak bisa berubah.
Dari situ aku belajar satu hal:
Cinta tidak bisa menyelamatkan seseorang yang tidak mau berubah. Cinta tidak cukup untuk mempertahankan hubungan yang hanya kamu perjuangkan sendirian.
Kini aku tahu, mencintai diri sendiri lebih penting daripada mempertahankan orang yang tak tahu cara mencintai dengan benar.
Dan pada akhirnya, aku bangkit. Aku menciptakan diriku yang baru, lebih baik, lebih kuat, dan tak lagi menyisakan tempat untuk luka yang sama.