
Ade Rahmad Suprasetya
FreelanceMenulis di Beritacinta, saya berbagi cerita, tips, dan inspirasi seputar cinta dan hubungan. Semoga tulisan-tulisan di sini bisa menemani dan memberi warna di perjalanan cinta kamu.
Langit sore menggantung kelabu di atas atap rumah kontrakan kecil itu. Raka duduk di kursi reyot ruang tamu, menatap jam dinding yang berdetak pelan seperti menyindir waktu yang tak pernah berpihak padanya.
Pintu belum terbuka, tapi ia sudah tahu: suara langkah itu akan datang. Sepatu kerja Dinda, istrinya, akan mengetuk lantai dengan ritme yang sama setiap hari. Dan seperti biasa, sebelum suara itu tiba, Raka bergumam pelan, hampir seperti doa yang pahit:
"Aku harus menghadapinya lagi hari ini."
Ia tak tahu apakah yang ia hadapi adalah Dinda, atau dirinya sendiri.
Pintu terbuka. Dinda masuk tanpa senyum, tanpa sapa. Tubuhnya lelah, wajahnya dingin. Ia meletakkan tas kerja di meja, membuka jilbabnya, lalu duduk di sofa tanpa menoleh.
Raka mencoba menyapa, “Capek ya?”
Dinda hanya mengangguk, tanpa kata. Diam yang menggantung di antara mereka lebih tajam dari pisau.
Di dapur, Raka memasak mie instan. Ia tahu Dinda tak akan makan, tapi ia tetap menyiapkannya. Bukan karena lapar, tapi karena ingin merasa berguna, walau hanya sedikit.
Malam itu, Raka duduk di depan laptop tua yang sering hang. Ia menulis surat lamaran kerja ke-37.
"Dengan ini saya mengajukan diri untuk posisi apa saja yang tersedia..."
Ia tahu surat itu akan berakhir sama seperti sebelumnya: tak berbalas. Tapi ia tetap menulis, karena harapan adalah satu-satunya hal yang belum ia jual.
Surat itu ia simpan di folder bernama “Harapan.” Ironis.
Pagi harinya, telepon berdering. Nomor tak dikenal. Raka mengangkat, dan suara di ujung sana dingin dan tegas:
“Pak Raka, cicilan rumah Anda sudah menunggak tiga bulan. Jika tidak ada pembayaran minggu ini, kami akan proses penyitaan.”
Raka terdiam. Ia ingin menangis, tapi air mata seperti sudah habis. Ia hanya berkata, “Baik, saya usahakan.”
Lalu ia menatap motor tua di halaman. Mungkin itu satu-satunya aset yang bisa dijual. Tapi kalau dijual, bagaimana Dinda berangkat kerja?
Siang itu, Raka keluar sebentar untuk membeli gas. Tetangga menyapa, “Belum kerja juga, Ka?”
Raka tersenyum kaku. “Masih nyari, Bu.”
Ia tahu senyum itu palsu. Ia tahu tetangga tahu. Tapi lebih baik pura-pura kuat daripada menunjukkan luka yang dalam.
Malam itu, Raka mendengar suara isak dari kamar mandi. Ia mendekat, tapi tak berani mengetuk.
Dinda menangis. Pelan, tapi jelas.
Raka duduk di depan pintu, menatap lantai. Ia ingin berkata, “Maaf.” Tapi lidahnya kelu.
Ia tahu Dinda lelah. Ia tahu Dinda kecewa. Tapi ia juga tahu, ia masih mencintainya. Dan itu yang paling menyakitkan.
Raka menulis surat untuk Dinda. Ia tulis dengan tangan, di kertas bergaris.
“Din, maaf kalau aku bukan suami yang kamu harapkan. Aku tahu kamu lelah, aku tahu kamu kecewa. Tapi aku masih berusaha. Aku masih ingin jadi laki-laki yang kamu banggakan. Aku masih ingin jadi ayah yang baik nanti. Aku belum menyerah. Tolong, jangan kamu juga.”
Surat itu ia lipat, ia simpan di laci meja makan. Ia tak pernah memberikannya.
Di balkon, Raka duduk menatap langit. Bintang tak terlihat, tapi ia tetap menatap.
“Besok sudah selesai,” katanya.
Entah itu harapan, atau ancaman pada dirinya sendiri. Ia tak tahu. Tapi ia tahu satu hal: ia akan mencoba lagi.
Ia melamar kerja sebagai satpam di sebuah minimarket. Gaji kecil, tapi cukup untuk bayar listrik dan beli beras.
Pagi itu, telepon berdering lagi. Kali ini, suara di ujung sana berkata:
“Pak Raka, Anda diterima. Bisa mulai Senin.”
Raka terdiam. Ia tersenyum. Senyum yang sudah lama hilang.
Dinda melihatnya. “Kenapa?”
“Aku kerja, Din. Mulai Senin.”
Dinda tak berkata apa-apa. Tapi saat mereka sarapan, ia menaruh telur goreng di piring Raka. Itu cukup.
Malam itu, Dinda membersihkan meja makan. Ia menemukan surat di laci. Ia membacanya.
Air matanya jatuh, satu per satu.
Ia mendekati Raka yang sedang menonton TV. Ia duduk di sampingnya, memeluknya pelan.
“Aku juga lelah, Ka. Tapi aku masih di sini.”
Raka tak berkata apa-apa. Ia hanya memeluk balik.
Dan untuk pertama kalinya, ia percaya: besok mungkin belum selesai. Tapi harapan itu nyata.