
Ambar Arum Putri Hapsari
mahasiswa Universitas STEKOM, BERITA CINTAMenulis di Beritacinta, saya berbagi cerita, tips, dan inspirasi seputar cinta dan hubungan. Semoga tulisan-tulisan di sini bisa menemani dan memberi warna di perjalanan cinta kamu.
“Memaafkan itu mudah, tapi tidak dengan melupakan.”
Kalimat itu mungkin relate untuk banyak orang. Setelah melewati perjalanan panjang kehidupan, bertemu dengan orang-orang yang tidak pernah kita duga alurnya, ada luka yang masih tertinggal. Luka yang meski dimaafkan, tidak akan pernah benar-benar hilang dari ingatan.
Aku pun merasa begitu. Walaupun aku bisa bilang "aku sudah memaafkan", mungkin aku belum 100% benar-benar memaafkan kejadian dan ucapan yang pernah kulalui. Apalagi setelah bertahun-tahun aku melihat perlakuan papaku kepada mamaku, perselingkuhan, mabuk, judi, dan berbagai hal lain yang sulit untuk kulupakan.
Dan bukan hanya papa. Aku juga menyaksikan KDRT dari abang-abangku terhadap mama. Luka itu seakan diwariskan turun-temurun di keluarga kecil kami.
Mamaku menikah tiga kali.
Jadi, aku dan kedua abangku berbeda ayah. Bahkan abang pertama dan abang kedua juga berbeda ayah. Singkatnya, keluarga kami penuh lika-liku sejak awal.
Meski begitu, mama sering berkata bahwa dirinya baik-baik saja sekarang, bahwa ia sudah bahagia. Padahal aku tahu, rasa sakit dan ketidakadilan sudah kenyang ditelan mama sejak muda.
Ada satu hari yang paling membekas di pikiranku. Saat itu aku masih kelas 3 atau 4 SD.
Pagi itu terasa biasa. Aku berangkat sekolah tanpa kecurigaan apa pun. Namun, sepulang sekolah, seorang tetangga bertanya padaku:
“Abangmu yang pertama ada masalah apa sama mama kamu?”
Aku bingung, karena aku tidak tahu apa-apa. Aku menjawab singkat, lalu memutuskan pulang.
Begitu masuk rumah, aku terkejut. Dari ruang tamu depan, aku melihat barang-barang pecah, patah, berantakan. Rumah sunyi. Aku berjalan pelan sambil mengucap salam. Saat masuk ke ruang tamu dalam, kondisinya sama: berantakan.
Di samping ruang tamu itu ada kamarku. Pintu terbuka. Di dalamnya, mama terbaring. Aku kira mama tidur. Tapi saat kudekati, ternyata mama menangis. Matanya bengkak, lebam, penuh air mata.
Aku terkejut. Mama buru-buru mengusap air matanya, berusaha menyembunyikannya dariku. Dengan suara bergetar, kalimat pertama yang keluar adalah:
“Loh, udah pulang, Nduk?”
Aku bertanya polos, “Ada apa, Ma? Kenapa nangis? Kenapa rumah berantakan?”
Mama hanya menggeleng, menarik tanganku, dan berkata:
“Gak apa-apa. Kamu sekolah yang pinter ya, jadi anak yang baik. Besok kamu harus bisa jaga mama kalau sudah tua. Mama janji gak akan ngerepotin kamu.”
Mama bicara begitu sambil menahan tangis, tapi tetap menangis deras. Aku kecil saat itu, bodoh dan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya mengangguk, “Iya, Ma.”
Belakangan aku tahu penyebabnya. Hari itu, abang pertama mengamuk pada mama karena uang kontrakan rumah yang disewa KSP. Mama ingin menyimpan sedikit uang dan membagi sisanya untuk anak-anaknya. Tapi abang pertamaku tidak terima, ingin lebih banyak, lalu marah dan melakukan KDRT pada mama.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan mama pagi itu. Sendirian, tanpa papa (yang kerja), tanpa aku (yang sekolah), dan malah disakiti oleh anaknya sendiri.
Beberapa tahun setelah kejadian itu, kedua abangku merantau ke Malaysia. Aku pun hidup sendirian di rumah bersama mama dan papa selama hampir 10 tahun. Aku menjadi saksi mata setiap pertengkaran, setiap luka, setiap pengorbanan.
Mama bagiku bukan hanya ibu. Ia juga sahabat, teman, sekaligus tempat curhat. Kami seperti dua orang yang saling menguatkan.
Setelah lama merantau, abang kedua pulang karena akan menikah. Aku senang karena rumah kembali ramai. Aku suka memasak, dan saat banyak orang di rumah, aku makin semangat masak.
Namun, masalah baru muncul.
Suatu kali, iparku harus periksa kandungan. Papa tidak bisa mengantar dengan alasan pekerjaan. Abang marah besar, sampai berkata ingin memb*n*h papa karena dianggap tidak becus jadi kakek.
Aku bingung. Aku tahu papa memang penuh salah, tapi aku juga tahu bagaimana papa membesarkan abang dari usia 2 tahun, bahkan sampai berhutang demi sekolah mereka. Aku tahu itu semua, karena mama sering bercerita padaku.
Tapi lagi-lagi, aku memilih netral. Aku selalu di pihak tengah.
Mama pun berusaha memperbaiki hubungan, tapi pada akhirnya mama yang disalahkan. Katanya, mama lebih membela suami daripada anak.
Demi Allah, di saat-saat seperti itu aku selalu sendirian. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku hanya bisa diam, mendengarkan pertengkaran demi pertengkaran. Rasanya aku ingin hilang.
Dari kecil sampai sekarang, aku selalu jadi kubu netral. Dari papa yang bejat, abang yang kasar, hingga mama yang terlalu sabar, aku berdiri di tengah.
Pernah tahun 2023, aku pulang dari Semarang subuh-subuh. Sesampainya di rumah, aku langsung mengantar oleh-oleh ke tetangga. Tapi ternyata malah “disidang”. Mereka menceritakan semua yang terjadi selama aku di Semarang. Aku kaget. Kukira semuanya baik-baik saja.
Pesan yang paling aku ingat dari mereka adalah:
“Kamu harus selalu ada di pihak netral. Tapi yakinkan mamamu untuk senantiasa berpikir positif. Cuma kamu yang bisa menyatukan keluargamu. Jangan kamu tambahi pikiran mama dengan masalah yang mungkin kamu hadapi di Semarang.”
Aku pun memilih memendam semua ini sendiri. Aku tetap di kubu netral, tapi selalu berusaha melindungi mama.
Karena bagiku, sehebat apa pun luka yang pernah dialami mama, dia tetap perempuan paling kuat yang pernah aku kenal.
Dari semua kisah ini, aku belajar satu hal penting:
Hidup tidak selalu berjalan sesuai harapan, dan keluarga tidak selalu menjadi tempat paling aman.
Tidak semua orang lahir di keluarga yang sehat. Ada yang harus menghadapi pertengkaran, perselingkuhan, bahkan KDRT sejak kecil. Luka itu nyata, dan memang sulit dilupakan. Tapi bukan berarti hidup kita berhenti di situ.
Aku tahu rasanya jadi orang yang terjebak di tengah, ingin melindungi, tapi juga tidak punya daya. Aku tahu rasanya melihat orang yang kita sayangi tersakiti, sementara kita hanya bisa diam dan menangis dalam hati.
Namun, justru dari situ aku belajar arti keteguhan. Aku belajar bahwa tidak semua luka harus diobati dengan amarah, ada kalanya luka hanya bisa kita rawat dengan sabar.
Untuk kalian yang membaca ini, mungkin juga punya cerita yang sama, atau bahkan lebih berat dari yang kualami. Ingatlah satu hal:
Kita tidak bisa memilih keluarga tempat kita lahir, tapi kita bisa memilih bagaimana kita memperlakukan diri sendiri dan orang-orang yang kita cintai.
Jika memaafkan terasa mustahil, tidak apa-apa. Pelan-pelan saja. Yang penting jangan biarkan luka itu mengubahmu jadi orang yang sama dengan mereka yang melukaimu.
Karena pada akhirnya, memaafkan bukan soal melupakan, tapi tentang melepaskan beban yang selama ini menghantui hati kita. Dan itu adalah hadiah terbaik untuk dirimu sendiri.