Pernah dengar “Jujur itu menyakitkan”? yaaa hal itu terjadi padaku
Aku tumbuh dalam keluarga yang mengajarkan keterbukaan tentang pentingnya bercerita, mengekspresikan diri, jujur, dan selalu ceria. Setiap hal yang aku alami selalu kuceritakan ke mama dan papa. Aku pikir, hubungan mereka juga sama terbukanya. Ternyata, aku salah besar.
Papa sering menyakiti mama. Aku menyaksikannya sendiri aku menjadi saksi dari pertengkaran, teriakan, dan luka yang tersembunyi di balik senyuman mama. Mungkin karena itu sudah terjadi berulang kali, aku pun terbiasa.
Apakah ini kebiasaan?
Waktu aku kecil, sering ada orang asing yang datang ke rumah, lalu mama dan papa bertengkar hebat. Suatu hari, mama bahkan sempat mengusir papa. Tapi seperti biasa, papa kembali, dan semuanya seperti tak pernah terjadi. Kakak-kakakku merantau, jadi aku sendirian di rumah, menyaksikan semuanya.
Saat kelas 3 SD, papa pergi kerja ke Ponorogo. Kami jarang komunikasi. Hingga suatu hari, aku melihat mama menangis di depan tetangga, bilang kalau papa selingkuh. Saat kutanya, mama mengelak. Aku penasaran, lalu tanya langsung ke papa lewat telepon. Tapi jawabannya sama mengelak.
mungkin aku terbiasa?
Sore hari yang tenang, aku nonton TV. Lalu mama dan papa bertengkar lagi. Mama membakar HP papa sampai meledak. Di situlah aku mendengar langsung papa mentalak tiga mama. Tapi aku hanya duduk diam, menatap kosong. Beberapa minggu kemudian, mereka baik-baik saja lagi.
Tahun 2021, mama datang sambil membawa bukti kalau papa mengaku bujang ke janda kota sebelah. Aku yang sudah cukup dewasa langsung menghubungi perempuan itu dan menjelaskan semuanya. Aku bisa lihat mama mencoba tegar menyembunyikan rasa sakitnya dengan sangat baik. Tapi sejak itu, aku jatuh sakit. Stres. Sampai lima bulan lamanya.
Dan jujurku menjadi masalah
Di bulan Ramadan, kami sahur seperti biasa. Aku nyeletuk soal papa yang pergi ke masjid sebelum imsak. Kami tertawa. Aku belum curiga. Tapi setelah lebaran, mama sibuk mengurus pesanan katering. Di hari terakhir, papa pergi dan meninggalkan HPnya. Ketika HPnya bunyi, aku lihat ada pesan dari “orang ini” seorang perempuan yang kukenal dari organisasiku. Seketika itu juga aku pusing, sesak napas, gemetar. Tapi aku tahan. Tak bisa menangis, karena banyak orang di rumah.
Malamnya, aku jujur ke mama. Kami berpelukan. Mama menangis. Tak lama, ketua organisasiku datang, dan mama menceritakan semuanya. Setelah itu, dimalam yang sama aku menyadap WA papa. Isinya benar-benar mematahkan hatiku.
Beberapa hari setelah itu, aku terbangun dari tidur mendengar mereka bertengkar, Mama menyerah dengan keadaan saat itu tapi Papa bilang cuma mengatakan bahwa dirinya “khilaf.” Aku lelah, aku tidur lagi, aku sudah terlalu lelah juga mendengarkan mereka.
Seminggu kemudian, papa sudah tak pernah makan di rumah.
Aku menghubungi suami dari “orang ini,” menceritakan semuanya. Tak ada tempat untukku bercerita. Mama benar-benar pasrah. Saat itu aku tahu dia sudah terlalu lelah.
Sampai suatu malam, aku buka HP mama. Aku lihat percakapan mereka papa berpamitan ingin pergi dari rumah, tapi mama tak ingin melepaskannya. Katanya, aku masih butuh sosok papa. Tangisku pecah. Aku menyesal sudah jujur. aku masih berandai “jika saja aku tidak bercerita, mungkin masalah ini tidak akan terjadi”
Tapi mama memelukku dan berkata, “Kita harus jadi perempuan kuat. Pundak kamu harus kuat, ya.”
Masalah Selesai
Beberapa hari kemudian, dua keluarga datang untuk menyelesaikan semuanya. Papa tak hadir. Pengecut.
Masalah ini menguras segalanya. Tapi aku berhasil melewatinya. Aku masih kecewa pada papa. Mama tahu. Tapi dia bilang, “Seburuk apapun papa, dia tetap papamu. Tanpa papa, kamu tak akan sebesar ini. Jangan benci papa hanya karena satu kesalahan. Dia tak pernah gagal jadi papa untukmu.”
Sejak itu aku sadar. Papa memang tak pernah melukaiku secara langsung. Tapi luka mama, adalah juga lukaku.