Sebelum kata pertama keluar dari mulut, cinta sudah menjadi bahasa universal yang dimengerti semua orang. Di balik setiap jiwa manusia, terdapat jejak emosi dan pengalaman yang membentuk pemahaman mereka tentang cinta. Salah satu sumber paling awal dan paling berpengaruh dari pengalaman ini adalah sosok ibu. Tapi pertanyaannya: Apakah benar bahwa ibu adalah panutan pertama dalam hal cinta? Untuk menjawabnya, kita perlu menelusuri lebih dalam dari sekadar hubungan biologis.
Cinta Ibu: Intuisi yang Mendahului Kata
Seorang bayi yang baru lahir tidak mengenal dunia. Ia belum tahu apa itu kehangatan, perlindungan, atau kenyamanan. Namun, sentuhan pertama seorang ibu—dalam bentuk pelukan, suara lembut, atau sekadar tatapan—menjadi isyarat bahwa ia dicintai. Tanpa instruksi verbal, ibu secara naluriah menanamkan rasa aman dan kasih yang mendalam. Dari sinilah cinta pertama manusia tercipta: dalam diam, melalui perhatian kecil namun konsisten.
Psikologi perkembangan menyebut konsep ini sebagai attachment bonding, yakni ikatan emosional yang terbentuk antara anak dan pengasuh utamanya, yang dalam banyak kasus adalah ibu. Ikatan ini kelak menjadi pola dasar yang membentuk bagaimana seseorang menjalin hubungan—apakah ia akan merasa aman dalam mencintai, atau takut akan penolakan.
Model Cinta yang Tak Tertulis
Ibu tidak mengajarkan cinta seperti guru mengajarkan matematika. Ia menjadi contoh hidup yang nyata. Bagaimana ia memperlakukan pasangan, menyikapi tekanan hidup, menyelesaikan konflik, hingga mengekspresikan kasih kepada anak-anaknya—semua itu diam-diam direkam oleh anak.
Anak-anak belajar melalui observasi, dan dari ibulah mereka pertama kali melihat bagaimana cinta bekerja: apakah itu sabar, pemurah, tegas, penuh pengorbanan, atau mungkin rapuh dan penuh luka. Bahkan ketika cinta ibu tidak sempurna, ia tetap menjadi kerangka rujukan emosional pertama yang digunakan untuk memaknai hubungan cinta lainnya.
Panutan yang Emosional, Bukan Ideal
Meski disebut sebagai panutan, tidak berarti cinta ibu selalu ideal. Justru dalam keterbatasannya, anak belajar bahwa cinta adalah kerja keras, bukan hanya perasaan manis. Saat ibu lelah namun tetap menyempatkan waktu, saat ia memaafkan di tengah amarah, saat ia memberi tanpa pamrih meski dirinya kekurangan—semua itu membentuk nilai-nilai cinta yang realistis dan manusiawi.
Beberapa orang tumbuh dari cinta yang utuh dan hangat, namun tak sedikit pula yang lahir dari pengalaman cinta yang retak. Meski begitu, keduanya tetap menjadikan ibu sebagai cermin awal—entah sebagai panutan yang ingin ditiru, atau sebagai pelajaran tentang apa yang ingin dihindari. Artinya, pengaruh itu tetap nyata, baik dalam kehadiran maupun dalam kekurangannya.
Warisan Emosional yang Melampaui Generasi
Cinta ibu tidak berhenti saat anak tumbuh dewasa. Nilai-nilai yang tertanam sejak kecil akan terus memengaruhi bagaimana seseorang memilih pasangan, menghadapi konflik, dan membangun rumah tangga. Bahkan ketika sang ibu telah tiada, warisan emosionalnya tetap hidup dalam cara anaknya menyayangi orang lain.
Cinta seorang ibu adalah anugerah yang tidak berwujud, tapi kehadirannya selalu terasa. Ia membentuk narasi internal dalam diri kita—bagaimana kita mencintai, bagaimana kita mengharapkan cinta, dan bagaimana kita memaknai pengorbanan dalam sebuah hubungan.
Kesimpulan: Cinta Pertama yang Membentuk Segalanya
Jadi, apakah benar bahwa ibu adalah figur utama yang menjadi acuan pertama terkait dengan cinta? Jawabannya: YA. Bukan karena ibu selalu benar, bukan pula karena ia sempurna, tetapi karena ia adalah cinta pertama yang kita kenal—dalam bentuk paling jujur, paling mentah, dan paling berpengaruh. Ia adalah dasar dari cara kita mencintai dan dicintai.
Ketika kita memahami hal ini, kita bisa merefleksikan perjalanan cinta kita sendiri—menghargai peran ibu, memaafkan kekurangannya, dan pada akhirnya, menyadari bahwa dalam setiap bentuk cinta yang kita berikan kepada orang lain, ada jejak dari cinta pertama yang ibu ajarkan.