Telah kusemai harap, kupupuk dengan doa dan keteguhan hati. Pada mulanya, aku kira ini kisah dua insan yang bersedia melangkah dalam satu irama, mengarungi waktu, menari di bawah hujan, dan berdiri berdampingan kala badai datang mengamuk. Namun perlahan kutahu, bahwa aku sendiri, dalam perahu yang bocor, menggenggam erat dayung yang kau tinggalkan begitu saja.
Tiada hubungan yang tak diuji. Namun sungguh, ujian terasa lebih pedih saat yang diuji hanya satu hati. Aku yang berusaha mengerti, aku yang menenangkan ketika kau menjauh, aku pula yang terus memanggil namamu dalam diam meski tak kunjung mendapat balasan.
Saat kau mulai diam, aku berbicara. Saat kau mulai lelah, aku menjadi sandaran. Saat kau tak lagi ingin melangkah, aku tetap menggenggam tanganmu, walau aku tahu, tangan itu tak lagi ingin digenggam.
Tak Pernah Aku Ingin Mengganti Orangnya
Mungkin aku bodoh. Atau barangkali terlalu setia pada janji yang pernah kita lafalkan di antara hujan dan senyuman. Aku tidak memintamu sempurna, tidak pula menuntut kau mengerti setiap lukaku. Aku hanya berharap, saat badai datang, kau tetap bersamaku. Tapi kini, hanya aku yang menghadap gelombang, sementara kau telah jauh menepi, bahkan tanpa berpamitan.
Meski lelah, aku tak pernah sekalipun berpikir untuk mengganti orangnya. Namamu masih kuucap dalam doaku. Wajahmu masih hadir dalam mimpiku. Dan harapan akan kembalinya hangat itu, masih bersisa walau semakin tipis tiap harinya.
Aku belajar, bahwa bertahan dalam cinta bukan hanya soal saling. Kadang, cinta adalah tentang satu pihak yang memilih tinggal, saat pihak lain telah lama berjalan pergi.
“Jika cinta adalah perahu, maka aku adalah satu-satunya yang mendayung. Tak masalah, asal kau tetap di sana, meski kini aku tahu, kau telah diam diam melompat ke dermaga lain.”