Tatkala angin sore berhembus pelan, aku memandang pohon tua di halaman. Daun-daunnya, yang dahulu rimbun memayungi tanah, kini satu per satu terlepas, melayang perlahan, jatuh di tanah yang mulai kering.
Ah, betapa miripnya ia dengan hati manusia, kala kepercayaan yang dibangun bertahun-tahun runtuh dalam sekejap. Tiada bunyi gemuruh, tiada letupan hebat, hanya sepi yang mendekam, dan luka yang diam-diam menoreh dalam.
Kepercayaan itu, seperti daun pada pohon, memerlukan waktu untuk tumbuh. Ia melewati musim hujan dan teriknya panas, bertahan dari badai yang tak terduga.
Namun, sekali batangnya retak, atau akar kejujurannya keropos, daun-daun itu tak mampu lagi bertahan. Mereka gugur, bukan karena tidak ingin hidup, melainkan karena sudah tiada daya untuk berpaut.
Daun yang Jatuh Tidak Akan Kembali ke Rantingnya
Dahulu aku percaya, bahwa setiap kata yang diucapkan dari hati akan kembali ke hati pula. Bahwa janji, sekali diucap, akan berakar dalam kesetiaan.
Namun, hari ini, di bawah langit kelabu, aku menyadari bahwa kata-kata pun dapat berubah wujud… manis saat di awal, pahit tatkala kebenaran terkuak.
Pengkhianatan itu tak selalu datang dengan gemuruh… kadang ia menyelinap halus, seperti angin yang menggoyang daun tanpa kita sadari. Tahu-tahu, kita melihat tanah sudah berselimut guguran kepercayaan. Dan, sebagaimana daun yang jatuh tak akan kembali menempel pada rantingnya, demikian pula kepercayaan yang sudah runtuh, ia takkan lagi utuh sebagaimana semula.
Pelajaran dari Runtuhnya Kepercayaan
Namun, bukankah setiap guguran adalah tanda pergantian musim? Mungkin, kehilangan kepercayaan adalah isyarat bahwa kita mesti menumbuhkan pohon baru dalam taman hati. Pohon yang akarnya lebih kuat, yang rantingnya lebih kokoh, agar kelak, ketika angin datang, ia tidak mudah menyerah.
Aku belajar, bahwa tidak semua orang pantas kita percayai sepenuh hati.
Bahwa dalam hidup, kita mesti pandai menakar, kapan membuka pintu, dan kapan menutup jendela. Kepercayaan memang indah, tetapi ia bukanlah mata air yang tak pernah kering… ia butuh dipelihara, disirami dengan kesetiaan, dan dilindungi dari tangan yang ingin merusaknya.
Kini, tatkala kulihat gugur daun di halaman, aku tak lagi sekadar melihat musim berganti. Aku melihat diriku sendiri, yang pernah percaya, yang pernah dikhianati, dan yang kini belajar berdiri lagi.
Sebab meski daun gugur, pohon tetap tegak, menanti musim baru untuk menumbuhkan harapan yang segar.