Pada petang yang senyap, di antara hembusan angin yang membawa aroma tanah basah, aku duduk sendiri di tepi jendela.
Bayang wajahmu hadir perlahan, tidak nyata namun cukup untuk membuat hatiku gamang.
Kau hadir bagai irama yang tak habis diputar, menjadi lagu sendu yang kuhafal, bahkan sebelum kau sempat benar-benar menyapaku.

Namun, di hadapan diri ini, terbentang jalan yang bercabang.
Satu mengarah padamu, yang hangat namun penuh tanda tanya, satu lagi menuju mimpi, yang tinggi, megah, namun belum tentu nyata.

Betapa pelik rasanya memegang keduanya. Sebab hati yang mencintaimu, seringkali pula ingin bebas meraih langitnya sendiri.

Dilema yang Menyesakkan

Kau adalah nyata, terlihat, teraba, dan dekat. Namun mimpi… ia adalah cahaya di kejauhan yang memanggil namaku.
Adakah salah bila aku ingin menapaki keduanya? Ataukah aku akan jatuh di tengah, tak sampai padamu, tak pula tergapai mimpiku?

Sering aku memandang matamu, berharap menemukan di sana sebuah janji, bahwa kau akan berjalan bersamaku hingga ujung mimpi. Namun tatapan itu, indah namun gamang… tak memberi jawab yang pasti.
Di malam-malam panjang, aku terbaring menatap langit-langit, menghitung perihal kemungkinan. Mengukur jarak antara kau… dan mimpi.

Antara Memilih atau Melepaskan

Ada kalanya aku ingin memelukmu erat, menutup telinga dari panggilan mimpi. Namun di lain waktu, aku ingin berlari bebas, walau harus melepaskan tanganmu.

Mungkin di dunia ini, tak semua yang kita genggam bisa dibawa bersama. Ada yang harus tinggal, ada yang harus kita kejar sendirian. Dan di sinilah aku berdiri, antara kau yang kuinginkan, dan mimpi yang tak henti memanggil.

Jika kelak aku tak kembali, bukan berarti rasa ini pupus.
Hanya saja, aku ingin mengenangmu sebagai rumah yang pernah ku singgahi, sebelum akhirnya aku berlayar mengejar cahaya di ujung samudera.