Berhentilah…
Berhentilah seakan kalian paham apa yang menancap di dadaku, seakan setiap denyut nadi ini bisa kalian terjemahkan hanya dari senyum tipis atau mata yang terlihat lelah.
Kalian tidak tahu. Kalian tidak pernah benar-benar tahu.
Kalian melihat permukaan, tapi permukaan hanyalah topeng, sebuah tirai tipis yang sengaja kupasang agar kalian tak menyentuh inti dari segala yang menyakitkan ini.
Kalian berkata, "Aku mengerti perasaanmu," seolah pengertian itu adalah obat.
Padahal, yang kalian sebut “mengerti” hanyalah tafsir singkat dari pikiran kalian sendiri… bukan dari luka yang aku bawa.
Luka yang Tak Bisa Diukur
Ada rasa yang terlalu dalam untuk sekadar diberi nama.
Rasa yang merayap diam-diam, menghimpit dada saat semua orang menganggap hidupku baik-baik saja.
Setiap napas membawa serpihan ingatan yang tajam.
Setiap malam, aku harus bernegosiasi dengan diriku sendiri, “apakah aku sanggup lagi menghadapi hari esok?”
Dan di saat seperti itu… kalian datang, menepuk bahu, memberi petuah, meminjamkan kata-kata manis, lalu pergi dengan keyakinan bahwa kalian telah menolong.
Kalian tidak menolong. Kalian hanya menggores luka yang sudah berdarah.
Aku Tidak Butuh Penilaian, Aku Butuh Diamnya Pengertian
Aku tidak meminta kalian mengerti, karena aku tahu itu mustahil.
Yang kuminta hanyalah ruang untuk bernapas, tanpa penilaian yang menempel di wajah kalian.
Jangan mengukur rasa sakitku dengan kisah hidup kalian.
Jangan membandingkan air mataku dengan air mata orang lain.
Karena rasa sakit ini… milikku, tumbuh dari akarku, berdiri di tanah yang tak pernah kalian pijak.
Biarkan Aku Menjadi Luka yang Sembuh pada Waktunya
Jangan paksa aku sembuh. Jangan paksa aku tersenyum.
Jika aku ingin menangis, biarkan.
Jika aku ingin diam, hormati.
Luka ini akan sembuh, bukan karena kalian paham, tapi karena aku sendiri yang berjuang di dalam gelapnya.
Berhentilah merasa bahwa kalian tahu apa yang aku rasakan.
Karena satu-satunya yang tahu… hanyalah aku, dan mungkin, Tuhan yang mengerti tanpa bertanya.