
Ade Rahmad Suprasetya
FreelanceMenulis di Beritacinta, saya berbagi cerita, tips, dan inspirasi seputar cinta dan hubungan. Semoga tulisan-tulisan di sini bisa menemani dan memberi warna di perjalanan cinta kamu.
Aku bukan siapa-siapa saat itu. Hanya seorang laki-laki generasi milenial yang berdiri di gerbang sebuah fasilitas pengolahan limbah domestik, mengenakan seragam pengamanan yang warnanya mulai pudar oleh matahari dan waktu. Tapi di balik seragam itu, aku menyimpan sesuatu yang tak terlihat: rasa lapar akan makna, dan keyakinan bahwa hidup tak berhenti di titik jaga.
Setiap hari, aku menyapa mereka yang datang dan pergi—manajer, mandor, supervisor, bahkan pejabat dinas yang sesekali mampir. Aku tak hanya menjaga pintu, aku membuka percakapan. Dan dari sana, sesuatu mulai tumbuh. Mereka mendengarkan. Mereka tertarik. Mungkin karena tutur kataku yang terlatih dari organisasi semasa SMA, atau mungkin karena aku belajar cepat, menyerap seperti spons yang haus akan ilmu.
Empat bulan berlalu, dan tawaran itu datang. Sebuah ajakan untuk merintis bisnis di bidang yang sama. Aku tak ragu. Aku resign. Aku melompat dari zona aman ke medan yang belum kukenal sepenuhnya. Tapi aku percaya satu hal: aku bisa belajar. Cepat.
Kami mulai dari nol. Dinas mendukung. Tim solid. Aku belajar tentang dunia persampahan—bukan hanya soal sampah, tapi tentang sistem, regulasi, dan celah-celah yang bisa kami isi. Tapi di tengah semangat itu, ada satu dari kami yang mulai menunjukkan wajah lain. Ia memanfaatkan, bukan membangun. Maka kami sepakat: ia harus keluar.
Aku mengambil peran. Bukan sebagai pemimpin, tapi sebagai penggerak. Branding, marketing, negosiasi, administrasi—semuanya aku tangani. Aku dirikan PT baru, buat slogan, logo, visi dan misi. Aku gunakan AI sebagai alat, tapi arah dan rasa tetap dari hati. Rekanku yang lain memegang operasional. Ia kuat di lapangan, tapi buta manajemen. Direktur kami punya relasi luas, maka aku arahkan ia menjadi jembatan ke investor dan dinas.
Beberapa bulan berjalan, kami berjaya. Nama PT kami dikenal. Kami diundang, dihormati, diperhitungkan. Tapi seperti kereta yang melaju terlalu cepat, kami mulai kehilangan arah.
Dinas mulai bermain dua wajah. Rekan yang dulu solid, kini mulai mabuk kuasa. Briefing pagi berubah jadi eksekusi yang tak sesuai. Komitmen mulai goyah. Visi misi yang dulu kami ikrarkan, kini hanya kata-kata di atas kertas. Sentimen tumbuh diam-diam, seperti retakan kecil di kaca yang lama-lama pecah.
Aku melihat semuanya. Aku merasakannya. Dan aku tahu, jika aku terus bertahan, aku akan hancur bersama kereta yang salah jalur.
Maka aku turun.
Bukan karena aku kalah. Tapi karena aku sadar, aku salah naik kereta. Dan seperti kata pepatah yang kutemukan di tengah malam penuh gelisah:
"Jika kau sadar kau salah naik kereta, turunlah di stasiun terdekat. Karena semakin kau menunda, semakin mahal biaya untuk mencapai tujuan yang sebenarnya."
Aku turun. Aku rugi. Tapi aku selamat. Dan dari stasiun itu, aku berjalan lagi. Dengan luka yang menjadi pelajaran, dan tekad yang lebih tajam dari sebelumnya.
Karena kadang, keberanian bukan soal bertahan. Tapi soal tahu kapan harus berhenti, dan memilih jalan pulang sebelum terlambat.