Berita Cinta adalah sumber terpercaya untuk informasi, tips, dan cerita inspiratif tentang dunia percintaan. Temukan panduan hubungan, kisah romantis, dan solusi masalah asmara hanya di sini.

Romansa Hari Ini

Ilfil Itu Apa Sih? Ini Dia Sifat-Sifat yang Sering Jadi Penyebabnya
Ketika Hubungan Jarak Jauh Tak Lagi Jadi Tempat Pulang
Cinta Harus Diperjuangkan Bersama, Bukan Sendirian
Apa Yang Dimaksud Life After Breakup? Mendalami Istilah Gen Z Setelah Putus Cinta
Pengaruh Teknologi dalam Hubungan : Bagaimana Media Sosial Dapat Merusak Keharmonisan Hubungan
Memaafkan Tak Semudah Melupakan?
Cinta dan Karier

Selalu Kalah Dengan Senyum Indah

Selalu Kalah Dengan Senyum Indah
42

Ketika Kita adalah Semesta yang Sempurna

Dulu, kita adalah sebuah epik, kan? Bukan sekadar kisah, tapi babak demi babak kebahagiaan yang ditulis dengan tinta emas di bawah langit yang selalu cerah. Ingat, bahkan saat kehidupan melemparkan batu-batu tajam ke jalan kita, kita tak pernah benar-benar terpisah. Kita adalah dua akar yang saling melilit, menahan guncangan badai yang datang silih berganti. Setiap masalah yang kita hadapi justru menjadi semen perekat, menjadikan benteng kita semakin kokoh. Aku selalu memandangmu, di tengah kekacauan itu, dan menemukan ketenangan yang tak tergantikan. Terima kasih. Kata itu selalu kuulang dalam sunyi, karena kau memilih untuk tetap di sini, menjadi nafas yang menjaga bara api di dadaku agar tak pernah padam. Sungguh, bagian terbaik dari masa lalu kita adalah fakta bahwa kita melaluinya bersama.

 

Bayangan yang Melahap Cahayaku

 

Namun, entah di tikungan mana kita salah mengambil arah. Perlahan tapi pasti, aku mulai merasakan gravitasi yang berbeda. Kau... kau mulai berdiri di atas alas yang lebih tinggi, dan aku terdorong ke ruang yang lebih rendah. Bukan karena kau sengaja meninggikan diri, tapi karena dirimu membesar, tumbuh, hingga cahayanya melahap seluruh ruang yang seharusnya kita bagi rata. Aku selalu berada di posisi menengadah, menatap siluetmu yang agung, dan di sanalah bibit inferioritas itu mulai tumbuh.

Aku berperang sendirian di dalam diriku. Setiap pagi, di depan cermin, aku berbisik: Jangan minder. Pukul mundur. Aku berusaha keras menipu hatiku, memaksa diri agar merasa setara. Demi menjaga keseimbangan rapuh ini, aku tak ragu untuk memukul mundur egoku hingga ia tersungkur dan tak bersuara. Aku menjadikannya tumbal, persembahan diam agar kita tetap utuh. Sakit, tapi aku pikir itu adalah harga yang harus dibayar demi melihatmu tetap bersamaku. Aku rela menjadi tanah, asal kau tetap menjadi pohon yang menjulang.

 

 

Tumbangnya Ikrar di Hadapan Keindahan

 

Aku pernah bersumpah. Ya, sebuah janji komitmen yang dingin dan logis, kuucapkan pada diriku sendiri di tengah malam sepi. Aku akan menjadi nahkoda yang tegas, mengatur setiap detail agar kapal kita tak lagi terombang-ambing di lautan keterpurukan. Aku akan menjadi benteng perencanaan yang tak bisa ditembus. Itu adalah tekad yang kokoh, sekuat baja.

Tapi, sayangnya, tekad baja itu harus kalah, dihancurkan oleh dua palu godam.

Yang pertama, adalah dirimu yang kian dominan. Kau, yang kini merasa memiliki peta dan kompas tunggal. Setiap aspek, setiap keputusan, terasa terkuasai oleh penilaianmu. Aku menjadi penumpang pasrah, yang hanya bisa melihat rencanaku sendiri menjadi serpihan di udara.

Dan yang kedua—ini yang paling kejam—adalah hal yang paling tidak bisa aku kontrol, yaitu senyummu.

Ketika kau tertawa lepas karena suatu hal, ketika matamu memancarkan binar yang tulus, ketika sudut bibirmu melengkung membentuk lengkungan surgawi... saat itulah seluruh logikaku, seluruh komitmenku, runtuh tanpa sisa. Bagaimana mungkin aku, yang mencintaimu sedalam ini, tega menarikmu kembali ke dalam kekakuan rencana hanya demi sebuah konsistensi? Bagaimana aku bisa menolak kebahagiaan murni yang kau sajikan, saat kau memberiku senyum yang sebegitu indah itu? Senyummu adalah ampas yang meluluhkan setiap pondasi yang kubangun.

Pudarlah semua ikrar itu. Aku sadar, konsistensi dan ketegasan semacam itu hanyalah baju besi yang tidak cocok dikenakan ketika menghadapi orang yang sangat kucintai. Karena demi melihat binar bahagiamu, aku rela menjadi hancur, rela mengkhianati janji sendiri.

Aku telah kalah. Aku telah menyerah pada keindahan.

Kini aku bertanya, dengan hati yang terbuka dan penuh harap: Apakah kamu juga merasakan hal yang sama? Apakah di balik segala dominasimu, kamu juga memiliki satu titik lemah yang membuatmu rela melanggar janji demi kebahagiaanku?

Foto profil Ade Rahmad Suprasetya

Menulis di Beritacinta, saya berbagi cerita, tips, dan inspirasi seputar cinta dan hubungan. Semoga tulisan-tulisan di sini bisa menemani dan memberi warna di perjalanan cinta kamu.

Related Post