
Ade Rahmad Suprasetya
FreelanceMenulis di Beritacinta, saya berbagi cerita, tips, dan inspirasi seputar cinta dan hubungan. Semoga tulisan-tulisan di sini bisa menemani dan memberi warna di perjalanan cinta kamu.
Di antara tumpukan berkas dan suara mesin printer yang tak pernah berhenti, sebuah cerita terlarang mulai tumbuh. Ahmad dan Kasih, dua rekan kerja yang tampak biasa, menyimpan luka yang tak terlihat. Di tempat yang sama, Heru—suami Kasih—bekerja tanpa tahu bahwa rumah tangganya sedang digerogoti dari dalam. Ini bukan kisah cinta biasa. Ini adalah kisah tentang pelarian, pembebasan, dan pertanyaan yang tak pernah punya jawaban pasti: apakah cinta yang salah bisa membawa kebahagiaan?
Ahmad bukan tipe pria yang mudah bicara. Ia lebih sering menunduk di depan komputer, menyelesaikan desain brosur dan laporan klien. Kasih, sebaliknya, adalah perempuan yang mudah tersenyum, mudah menyapa, dan mudah membuat orang merasa nyaman. Tapi di balik senyumnya, ada kelelahan yang tak bisa dijelaskan.
Pertemuan mereka dimulai dari hal sederhana: “Sudah makan, Mas?” atau “Desainnya bagus.” Tegur sapa yang awalnya hanya basa-basi mulai berubah menjadi percakapan yang lebih dalam. Ahmad bercerita tentang istrinya yang tak bisa hamil. Kasih mendengarkan, dan untuk pertama kalinya, ia merasa dibutuhkan.
Heru, suami Kasih, bekerja di divisi logistik. Ia jarang berinteraksi dengan Ahmad, dan lebih sibuk dengan laporan pengiriman dan deadline. Ia tak pernah menyadari bahwa di ruang kerja yang sama, istrinya mulai menemukan pelarian.
Kasih bukan perempuan yang asing dengan perselingkuhan. Ia pernah melakukannya, lebih dari sekali. Tapi kali ini berbeda. Ahmad tidak menggoda. Ia tidak memaksa. Ia hanya ada—dan itu cukup untuk membuat Kasih merasa hidup kembali.
Ahmad, di sisi lain, merasa bersalah. Ia tahu ini salah. Tapi ia juga tahu bahwa di rumah, ia hanya menjadi suami yang gagal. Istrinya tak lagi menyentuhnya. Mereka tidur di ranjang yang sama, tapi dunia mereka sudah terpisah.
Di kantor, Kasih mulai mencari alasan untuk mendekat. Membantu Ahmad menyusun laporan, menawarkan kopi, atau sekadar duduk di sebelahnya saat makan siang. Ahmad tak menolak. Ia mulai menunggu kehadiran Kasih setiap pagi.
Kasih tahu bahwa ia sedang jatuh cinta. Tapi ia juga tahu bahwa cinta ini tidak bisa dibagi. Ia memutuskan: jika harus selingkuh, biarlah dengan satu orang saja. Ahmad.
Ia mulai menjauh dari pria-pria lain yang dulu menjadi pelariannya. Ia berhenti bermain api dan memilih satu bara yang ia tahu akan membakar segalanya. Ahmad.
Mereka mulai bertemu di luar kantor. Di kafe kecil, di taman kota, di kamar hotel murah. Mereka berbagi cerita, tawa, dan tubuh. Heru mulai curiga, tapi ia tak punya bukti. Ia hanya merasa istrinya berubah.
Kasih dan Ahmad memutuskan untuk resign. Mereka tak ingin terus bersembunyi di balik meja kerja. Heru, secara ironis, terkena PHK beberapa minggu kemudian. Dunia mereka runtuh, tapi Kasih merasa bebas.
Mereka pindah ke kontrakan kecil di pinggiran kota. Ahmad mulai merintis usaha percetakan. Ia membeli mesin bekas dan menyewa ruko kecil. Kasih menjadi manajer keuangan. Mereka bekerja dari pagi hingga malam, saling mendukung, saling menyemangati.
Di mata orang lain, mereka adalah pasangan yang tak tahu malu. Tapi di mata mereka sendiri, mereka adalah dua orang yang akhirnya bisa jujur pada diri sendiri.
Usaha mereka mulai tumbuh. Ahmad mencetak brosur, undangan, dan banner. Kasih mengatur pembukuan, melayani pelanggan, dan memasarkan jasa mereka lewat media sosial. Mereka seperti pasangan ideal.
Ahmad menyebut Kasih sebagai “penyelamat hidupnya.” Kasih menyebut Ahmad sebagai “rumah yang tak pernah ia miliki.” Mereka saling mengisi, saling menyembuhkan.
Mereka mulai punya karyawan. Teman-teman lama yang dulu satu kantor mulai datang, melamar kerja. Mereka diterima. Tapi gosip mulai beredar. “Usaha Ahmad itu sial,” kata mereka. “Kasih itu pembawa masalah.”
Karyawan mulai keluar satu per satu. Pelanggan berkurang. Mesin cetak rusak. Ahmad tetap percaya. “Kita bisa,” katanya. Kasih menangis di kamar mandi, tapi tetap tersenyum di depan Ahmad.
Desas-desus tentang “kutukan” mulai menyebar. Bahwa usaha yang dibangun dari perselingkuhan tak akan bertahan. Bahwa cinta yang salah akan membawa kehancuran.
Tapi mereka bebal. Mereka tetap bertahan. Mereka percaya bahwa cinta mereka lebih kuat dari gosip. Mereka percaya bahwa mereka bisa membuktikan bahwa selingkuh itu, entah bagaimana, bisa menguntungkan.
Mereka saling menguatkan. Ahmad memeluk Kasih saat ia merasa gagal. Kasih menulis motivasi di cermin kamar mandi untuk Ahmad. Mereka membaca buku bisnis bersama, menonton video motivasi, dan berdoa meski tak tahu kepada siapa.
Mereka adalah satu-satunya alasan masing-masing untuk bertahan. Tapi support system yang dibangun dari luka tak selalu kuat. Kadang mereka bertengkar. Kadang mereka saling menyalahkan. Tapi mereka selalu kembali.
Kasih mulai bertanya: apakah ini cinta, atau hanya pelarian? Ahmad tak punya jawaban. Ia hanya tahu bahwa tanpa Kasih, ia tak punya siapa-siapa.
Utang menumpuk. Pelanggan terakhir tak membayar. Karyawan terakhir mengundurkan diri. Ahmad mulai menyalahkan diri sendiri. Kasih mulai merasa bersalah.
Heru muncul kembali. Ia menawarkan bantuan. Ia tak lagi marah. Ia hanya ingin tahu: “Apa kamu bahagia?” Kasih tak menjawab. Ia hanya menunduk.
Mereka duduk di balkon kontrakan, memandang langit malam. “Kalau ini salah, kenapa rasanya benar?” tanya Kasih. Ahmad tak menjawab. Ia hanya menggenggam tangan Kasih.
Usaha mereka tutup. Mereka pindah ke kota kecil, membuka warung kopi sederhana. Tak ada kemewahan, tak ada pengakuan. Tapi ada tawa, ada pelukan, ada rasa cukup.
Apakah selingkuh itu menguntungkan? Mungkin tidak secara materi. Tapi bagi mereka, itu adalah satu-satunya jalan menuju kejujuran batin. Mereka tidak lagi bersembunyi. Mereka tidak lagi berpura-pura.
Di bawah langit yang sama, mereka memilih untuk tetap bersama. Meski dunia tak pernah benar-benar menerima mereka.