Pada suatu kala, tatkala langit menjingga dan bayang-bayang mulai merunduk, terpatri dalam hatiku satu perasaan yang tak jua dapat kuredakan: mencintai dalam diam, tanpa pernah dipilih, apalagi dimiliki. Aku adalah stroberi yang telah ranum; telah kuberikan manis terbaik yang kupunya, kusuguhkan perasaan sejujur embun pagi, namun tetap saja, ia memilih rasa yang lain.
Senyumnya tak pernah kupinta, namun selalu kucari. Tatapnya tak pernah kujadikan hak, namun selalu kutunggu. Dalam segala hal kecil, aku ada, menyisipkan perhatian yang halus, mencatat segala kebutuhannya, dan menyembunyikan rindu dalam tawa. Tapi aku tahu, baginya semua itu hanya angin semilir di sore hari, singgah sebentar, lalu pergi.
Ia telah jatuh hati pada cokelat pilihannya, pahit manis yang menurutku menyakitkan, tapi baginya membahagiakan. Dan siapa aku hingga bisa menyalahkan rasa yang telah ia damba sejak lama?
Bukan Tentang Siapa yang Lebih Baik
Tak pernah kuanggap diriku lebih baik. Aku tak pernah ingin membandingkan diriku dengannya, sosok yang telah ia pilih. Tapi yang kupunya adalah ketulusan. Bukan dramatisasi, bukan sandiwara cinta, hanya hadir yang nyata dan sederhana. Namun rupanya, kesederhanaan tak selalu dicari. Ada kalanya, hati manusia memang mencari kerumitan yang membuatnya merasa hidup.
Aku adalah rasa yang tak ia cari. Meski telah kusediakan seluruh manis, ia tetap berpaling pada rasa yang menurutnya lebih membekas. Dan di situlah aku belajar: bahwa menjadi baik saja tidak cukup untuk dimiliki.
Mengikhlaskan Tanpa Membenci
Kini, aku tak lagi berharap. Bukan karena berhenti mencintai, namun karena mencintai tak seharusnya menyiksa diri. Bila ia bahagia dengan rasa pilihannya, maka biarlah begitu. Aku tak ingin menjadi alasan untuk ia menoleh, hanya karena iba.
Mengikhlaskan bukan berarti melupakan. Sebab kenangan akan tetap tinggal. Tapi aku memilih untuk merawatnya dalam diam, sebagai pelajaran yang membuatku lebih mengenal siapa diriku, dan apa artinya mencinta tanpa balasan.
Semanis Apapun Aku, Tak Harus Kupaksa untuk Dipilih
Barangkali aku adalah stroberi yang terlalu manis untuk lidahnya. Atau mungkin, aku hanyalah rasa yang datang di waktu yang tak tepat. Tapi tak mengapa. Sebab kini aku tahu: mencintai bukan berarti harus dimiliki.
Dan jika esok ada yang datang, menghargai rasa yang kubawa, maka aku tak lagi perlu bersedih. Karena pernah menjadi manis untuk orang yang salah, bukanlah kesalahan. Itu hanyalah bagian dari perjalanan, menuju seseorang yang akan memilihku, bukan karena aku lebih, tapi karena aku memang yang dicari.