Setelah semua usai, setelah kata pisah tak lagi terasa asing—aku berjalan kembali di jalanku. Tak terburu, tak terseok, hanya tenang... dan ringan.
Jejak-jejak yang dulu kutinggalkan bersamamu, kini kupijak kembali. Tapi kali ini, tak lagi berdebu. Tak lagi menyakitkan. Tak lagi menggores ingatan yang dulu begitu tajam menusuk.
Tak Ada Lagi Langkah yang Kucari
Dulu, setiap sudut jalan seperti menyimpan bayangmu. Senyummu menyelip di sela pepohonan, tawamu menggema di antara dinding kenangan. Aku selalu mencarimu, seolah tak lengkap langkahku tanpa hadirmu.
Tapi kini, tak lagi. Aku tak mencarimu lagi. Bukan karena membenci, bukan pula karena telah melupakan. Namun karena aku akhirnya memahami: tidak semua yang kita cintai harus dimiliki.
Menghapus Debu, Bukan Menghapus Jejak
Jejak kita masih ada, tersimpan rapi di ruang yang tak bisa dihapus waktu. Tapi tak ada lagi debu di atasnya. Tak ada lagi luka saat mengingat. Yang tertinggal hanyalah kisah, seperti lembaran buku tua yang tak lagi dibaca setiap hari, tapi tetap berarti.
Dan mungkin... memang begitu cara semesta menyembuhkan, bukan dengan menghapus, tapi dengan membersihkan.
Langkahku Kini Milikku Sepenuhnya
Aku tak menyesali apa pun. Segala tawa, tangis, dan diam kita adalah bagian dari siapa diriku hari ini. Tapi aku telah belajar berjalan lagi, kali ini tanpa berharap kau akan menyusul dari belakang.
Langkahku kini tak lagi menunggu, tak lagi mencari. Hanya melangkah. Dengan tenang. Dengan hati yang utuh, meski sempat runtuh.
"Jejak yang Tak Lagi Berdebu" adalah kisah tentang kedewasaan hati. Tentang bagaimana luka tak selalu dibawa seumur hidup. Ia hanya menunggu waktu dibersihkan. Dan ketika saatnya tiba, kita bisa tersenyum, melangkah, dan berkata dalam hati: "Terima kasih sudah pernah menjadi jejakku."