Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Ayah dan ibu hanyalah petani sederhana, namun mereka berjuang keras agar ketiga anaknya bisa meraih gelar sarjana.
Sejak awal kuliah, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak berpacaran. Aku ingin fokus, agar tidak menyia-nyiakan jerih payah orang tuaku.
Syukur, aku diterima di universitas ternama di provinsiku dengan jurusan yang memang kuinginkan. Bahkan aku berhasil meraih beasiswa, berbeda dengan kedua kakakku yang harus berjuang membayar biaya kuliah penuh. Dari situ aku semakin bertekad untuk kuliah dengan sungguh-sungguh.
Hari-hariku sederhana, pergi ke kampus, pulang, mengerjakan tugas, dan mengurus kebutuhan rumah kos.
Aku tidak suka nongkrong, tidak sering berkumpul dengan teman, apalagi jalan-jalan ke tempat wisata. Hidupku hanya untuk kuliah.
Namun, semuanya berubah ketika aku memasuki semester enam.
Pertemuan dengan Dia
Di semester enam itulah aku bertemu dengan seorang pria dari jurusan yang sama, meski berbeda kelas. Kami mulai sering bersama, lambat laun, aku jatuh hati.
Dari yang awalnya aku pulang pergi sendirian, kini ada dia yang selalu menemani.
Aku memanggilnya dengan sebutan Herkos. Segala hal kami lakukan berdua… kuliah, mengerjakan tugas, bahkan saat KKN kami ditempatkan di sekolah yang sama.
Hubungan kami semakin dekat, aku semakin mencintainya. Tapi kadang aku dibuat ragu oleh pikiranku sendiri, “apakah dia mencintaiku seperti aku mencintainya?”
Meski sikapnya kadang cuek, dia selalu memperhatikan keadaanku. Jika aku sakit, dia yang merawat, jika aku tidak masuk kampus, dia yang datang mencari.
Katanya, ia tidak bisa jika tidak bertemu denganku. Bagiku, dialah belahan jiwa.
Perjuangan Tugas Akhir Bersama
Hari-hari kami terus berlalu hingga sampai pada tahap paling menegangkan, ialah skripsi. Bersamanya, aku merasa kuat, meski dosen pembimbing sering menolak, revisi menumpuk, dan aku merasa hampir menyerah, dia selalu ada di sisiku.
Dia mendapat ACC lebih dulu, kadang itu yang membuat aku iri, padahal kami selalu bersama-sama tapi dia selalu berada 1 langkah lebih dulu. Bahkan wisudanya lebih cepat, Desember 2024, sedangkan aku baru Februari 2025.
Awalnya aku sedih karena tidak bisa wisuda bersama, tetapi dia berjanji akan tetap menemaniku. Saat hari wisudanya tiba, aku hadir, menemaninya dengan bangga meski hatiku sedikit pilu.
Perubahan Setelah Wisuda
Namun, setelah hari wisuda itu, semuanya perlahan berubah. Dia mulai bekerja, sementara aku sibuk menunggu giliranku di Februari.
Alasan pekerjaannya membuat kami jarang bertemu.
Komunikasi yang dulu hangat kini hambar. Saat aku menanyakan kabar atau sekadar bertanya sudah pulang kerja atau belum, dia justru merasa terganggu. Aku sakit hati, tapi aku mencoba mengerti. Aku hanya ingin fokus pada persiapan wisudaku.
Akhirnya, tibalah hari bahagia itu… Februari 2025, aku resmi wisuda.
Dia datang, memberi buket bunga dengan ucapan “congrats kesayanganku.” Hatiku kembali hangat. Aku yakin, setelah ini hubungan kami akan kembali seperti dulu.
Tapi nyatanya, dugaanku salah.
Luka yang Menghancurkan
Hanya dua hari setelah wisuda, aku jatuh sakit selama seminggu. Berharap ia datang, menjenguk, atau sekadar membawakan obat, ternyata ia tak pernah muncul.
Alasannya selalu sibuk kerja. Aku hanya bisa menangis di kamar, berjuang sembuh sendirian.
Setelah aku sembuh, ia datang namun ternyata hanya untuk meminjam helm. Alasannya ingin menjemput saudaranya.
Dan memang betul jalan Tuhan, 3 seminggu lebih setelah selesai wisuda Tuhan tunjukkan yang sebenarnya terjadi. Firasat yang datang 1 bulan yang lalu, seperti ada yang aneh.
Mimpi beberapa kali dia selingkuh…ternyata Tuhan tunjukkan dengan begitu nyata, dimana setelah 3 hari dia datang bertemu dengan ku untuk meminjam helm tujuannya bukan jemput saudaranya tetapi menjemput selingkuhannya
Aku mengetahui semuanya secara kebetulan. Gmail kami yang terhubung membuat foto-fotonya tersimpan di galeri ponselku. Ada tangkapan layar panggilan dari seorang perempuan berinisial MD yang ternyata adalah selingkuhannya. MD, aku kenal betul siapa dia, kami adalah mantan Badan Pengurus Mahasiswa Kristen dulu.
Saat aku hubungi, MD awalnya menyangkal. Selama 2 tahun kami menjalin hubungan HN tidak pernah berkomunikasi dengan perempuan lain, selain aku dan beberapa teman kampusnya. Jadi ketika aku tau dia ada komunikasi dengan MD, rasanya sakit sekali.
Sepanjang malam itu aku menangis, pikiranku tak tenang.
Rasa belum puas dengan jawaban MD sebelumnya, mendorongku untuk menghubunginya lagi. Pagi harinya aku bertanya kembali ke MD tapi kemudian jujur, mereka sudah bertemu tiga kali, aku memberanikan diri untuk bertanya lebih jauh, sebagai penentu apakah aku bisa melanjutkan hubunganku dengan HN atau tidak, dan ternyata mereka sudah dua kali berhubungan badan.
Hancur Setelah Semua Pengorbanan
Hatiku remuk.
Selama dua tahun aku bersamanya, aku setia, mengorbankan segalanya, bahkan melanggar prinsipku untuk tidak pacaran. Namun, dia tega mengkhianatiku.
Lebih menyakitkan lagi, setelah semua kebohongan itu terbongkar, ia justru menghubungiku dan mengakhiri hubungan kami tanpa sedikit pun meminta maaf.
Aku dikhianati, disakiti, lalu ditinggalkan begitu saja.
Enam bulan berlalu sejak peristiwa itu. Trauma masih membekas.
Meski demikian, aku masih saja berharap ia kembali. Begitu besar cintaku padanya, hingga meski dikhianati, hatiku tetap menginginkannya.
Kini aku hanya bisa menyimpan rasa ini dalam diam. Foto-foto dan video kenangan masih tersimpan di galeriku.
Setiap kali aku melihatnya, air mata tak terbendung. Aku merindukannya, meski ia bukan lagi milikku.
Cinta memang tidak selalu berarti memiliki. Mungkin kini tugasku hanya mencintainya dalam diam, menjadikannya kenangan yang akan selalu ada di ruang terdalam hatiku.