Dulu aku pernah menjadi pilihan kedua. Rasanya begitu sakit, mencintai dengan sepenuh hati, tetapi tidak pernah benar-benar dipilih. Aku mencintai sepenuh jiwaku, namun keberadaanku seolah hanya sebagai bayangan.
Dan ketika semuanya berakhir, kami berubah menjadi asing. Seakan-akan semua tawa, janji, dan harapan yang pernah ada hanyalah fatamorgana yang hilang tanpa bekas.
Aku mencoba untuk melangkah lagi, membuka hati pada orang baru.
Ada sedikit harapan, ada secercah keyakinan bahwa mungkin kebahagiaan bisa kembali kutemukan. Namun, kenyataan tak berpihak, aku kembali dikhianati.
Kepercayaan yang kubangun runtuh, hatiku hancur sekali lagi. Saat itu aku benar-benar merasa cinta hanya identik dengan luka, pengkhianatan, dan air mata yang tak kunjung kering.
Pertemuan yang Mengubah Segalanya
Di titik terendah hidupku, ketika aku hampir berhenti percaya pada cinta, semesta menghadirkan seseorang yang berbeda.
Dia datang tanpa banyak janji manis, namun dengan kehadiran yang tulus. Ia tidak menjadikan aku sekadar pelarian, tidak pernah membuatku merasa kurang.
Justru bersamanya aku merasa cukup, dan itu adalah sesuatu yang tak pernah kudapat sebelumnya.
Hari demi hari, ia menunjukkan bahwa cinta bukan sekadar kata-kata, melainkan tindakan kecil yang nyata. Ia mendengarkan saat aku ingin bercerita, tetap bertahan meski aku masih dihantui masa lalu, dan terus ada meski aku pernah patah.
Bersamanya, aku belajar bahwa cinta sejati bukanlah tentang siapa yang paling banyak berkorban, tetapi tentang saling memilih, saling menghargai, dan berjalan berdampingan tanpa merasa lebih atau kurang.
Kini aku percaya, tidak semua cinta menyakitkan. Ada cinta yang justru menyembuhkan luka lama, ada cinta yang menjadi rumah untuk jiwa yang lelah.
Dan aku bersyukur, akhirnya aku menemukannya, cinta yang setara, yang sederhana namun begitu berarti.