Sudah berbulan-bulan kami menjalani hubungan jarak jauh. Hampir setiap hari ada kabar, entah lewat chat singkat atau panggilan telepon panjang di malam hari. Ada rasa yang tumbuh, ada perhatian yang hadir, meski jarak terbentang di antara kami.
Dia bukan laki-laki yang pelit. Seperti pena yang tak pernah habis tintanya, ia selalu punya cara untuk meninggalkan jejak perhatian.
Kadang lewat hal kecil yang ia lakukan, kadang lewat sikap sederhana yang membuatku tahu kalau aku berarti baginya.
Namun aku sadar, tak semua goresan pena dapat terbaca jelas di atas kertas. Saat aku bercerita panjang, ia memang merespon. Hanya saja, sering kali jawabannya tidak sesuai dengan yang kuharapkan. Rasanya seperti ada jarak tak kasatmata: aku berbicara tentang satu hal, tapi yang ia tangkap justru berbeda arah. Seperti tinta yang jatuh di atas kertas, namun membentuk pola yang tak pernah kumaksudkan.
Keraguan di Antara Halaman
Di situlah keraguanku muncul. Ia pernah mengisyaratkan ingin menuliskan kisah yang lebih serius antara kami. Tapi dalam hati aku bertanya, "Bagaimana aku bisa yakin pada sebuah cerita panjang, jika di halaman-halaman awal saja kami masih sering tak saling memahami?"
Mungkin inilah ujian sebuah hubungan. Ada hal-hal yang ingin kusampaikan dengan jelas, tapi sampai di sisinya hanya terdengar samar. Dan sebaliknya, ada maksud darinya yang tak selalu kutangkap utuh.
Aku tahu ia berusaha dengan caranya, begitu pula aku dengan caraku. “Tapi bukankah sebuah kisah baru bisa utuh jika pena dan kertas benar-benar saling menyatu?”
Cinta, seperti tulisan, bukan hanya soal seberapa banyak tinta yang dituangkan, melainkan bagaimana tiap huruf bisa terbaca jelas dan dimengerti. Dan mungkin, jika kami terus berusaha menyamakan bahasa, pada akhirnya tinta itu akan menemukan kertasnya, dan cerita kami akan tertulis tanpa lagi ada keraguan.