Ambar Arum Putri Hapsari
mahasiswa Universitas STEKOM, BERITA CINTAMenulis di Beritacinta, saya berbagi cerita, tips, dan inspirasi seputar cinta dan hubungan. Semoga tulisan-tulisan di sini bisa menemani dan memberi warna di perjalanan cinta kamu.
Namaku Jahira. Aku menjalin hubungan jarak jauh dengan seorang pria bernama Fikra. Katanya, cinta itu soal rasa saling memahami, soal bisa jadi tempat pulang yang nyaman meski jarak memisahkan. Tapi entah kenapa, yang aku rasakan justru sebaliknya.
Kami hampir setiap hari melakukan videocall, tapi bukannya merasa semakin dekat, aku justru sering merasa tidak nyaman. Bahkan, sering kali aku memilih alasan ingin tidur lebih cepat, hanya agar obrolan kami bisa segera berakhir. Padahal, di balik itu, aku sebenarnya hanya ingin menghentikan percakapan yang terasa hambar.
Setiap kali aku bercerita, respon yang aku terima tidak pernah sesuai harapan. Obrolan yang seharusnya bisa jadi panjang dan hangat, malah berhenti begitu saja tanpa arah. Aku merasa tidak didengar, hanya sekadar ditanggapi seperlunya.
Puncaknya, ada satu kejadian yang benar-benar membuatku kecewa. Saat aku sedang butuh dukungan, Fikra dengan enteng berkata:
"Kalau aku ada di posisimu, aku pasti bisa ngatasin sendiri, nggak perlu minta tolong orang lain."
Seketika aku terdiam. Serius? Apa dia pikir aku harus bisa segalanya sendirian? Bukannya memberi dukungan, justru ucapannya membuatku semakin merasa lelah.
Aku sadar, setiap orang punya caranya masing-masing menghadapi masalah. Tapi bukan berarti semua harus sama. Dan jelas, bukan berarti aku bisa dipaksa untuk selalu kuat sendirian.
Di titik itu, aku merasa capek dan muak. Rasanya percuma kalau hubungan ini bukannya memberi ketenangan, malah bikin emosiku terkuras habis. Bukannya jadi tempat nyaman untuk pulang, justru sering jadi sumber rasa kesal.
Aku tidak butuh hal yang rumit. Aku hanya ingin dicintai dengan cara sederhana, dengan dipahami, dengan didengarkan, dengan sedikit pelukan lewat kata-kata. Tapi yang kuterima hanyalah ucapan yang membuatku semakin jengkel, seolah aku harus sanggup menghadapi segalanya sendirian.
Cinta seharusnya membuatku merasa tenang, bukan menambah beban. Dan sekarang, aku bertanya-tanya: masihkah hubungan ini layak untuk kuperjuangkan, jika “pulang” yang seharusnya ada di Fikra, justru tak pernah bisa kutemukan?