Kala Suara Menjadi Hening
Ada masa, ketika suara itu adalah rumah. Tempat pulang dari segala resah. Nada yang terucap dari bibirmu mampu meredakan badai yang mengamuk di dadaku.
Aku masih ingat, bagaimana tawa kecilmu terselip di antara kata-kata, membuat segala yang berat terasa ringan.
Namun, waktu adalah pencuri yang lihai.
Ia mengambil tanpa permisi, mengikis tanpa aku sadari. Kini, jika aku mencoba mengingatnya, suaramu tak lagi jernih. Ia terdistorsi, terbalut jarak yang panjang, seperti gema dari lorong yang jauh.
Aku menutup mata, berusaha menyalin kembali irama itu di kepala, namun hanya sunyi yang menjawab. Mungkin begini cara dunia mengajariku melepaskan, dengan perlahan memadamkan suara yang dulu menjadi cahaya.
Rupa yang Tak Lagi Nyata
Pernah, wajahmu terpatri jelas di kepalaku. Aku bisa menutup mata dan menemukanmu di sana, dengan tatapan yang hangat, senyum yang tipis, dan sorot mata yang seperti menyimpan rahasia yang hanya kita berdua tahu.
Tapi kini, bayangan itu kabur. Garis wajahmu mulai hilang, seperti lukisan yang dilap hujan.
Matamu, yang dulu seperti bintang yang kerap kurindui, kini menjadi titik-titik samar di langit kelam ingatanku.
Aku mencoba menggambar ulang wajahmu di kertas kosong, namun pensilku berhenti di tengah. Tak ada yang bisa kutangkap selain bentuk yang tak sempurna. Seolah wajahmu memutuskan untuk benar-benar pergi, bahkan dari alam pikiranku.
Waktu dan Jarak yang Menjadi Perampok
Orang berkata bahwa waktu menyembuhkan. Nyatanya, waktu juga bisa menghapus.
Menghapus suaramu, menghapus wajahmu, dan mungkin, perlahan, menghapus rasaku. Aku bertanya-tanya, apakah ini yang mereka sebut merelakan?
Jarak memisahkan kita, bukan hanya raga, tapi juga ingatan.
Ada malam-malam ketika aku ingin memanggilmu, sekadar untuk memastikan bahwa suaramu masih sama. Namun, keberanian itu tak pernah datang.
Aku takut, jika kudengar suaramu lagi, aku akan jatuh di lubang yang sama, dan tak bisa keluar lagi.
Yang Tersisa Hanyalah Sisa-sisa
Kini, aku hidup dengan serpihan kenangan. Potongan suara yang tak lengkap, bayangan wajah yang samar, dan rasa yang mulai kehilangan bentuknya.
Mungkin, begini cara hidup mengajariku.
Bahwa tak semua yang hilang harus ditemukan kembali. Bahwa ada orang-orang yang hadir untuk memberi warna sesaat, lalu pergi membawa warna itu bersama mereka.
Dan aku… aku belajar untuk tetap berjalan, meski warna itu telah hilang. Karena mungkin, di ujung jalan, akan ada suara baru, rupa baru, yang tak kalah indah untuk kuingat.