
Ade Rahmad Suprasetya
FreelanceMenulis di Beritacinta, saya berbagi cerita, tips, dan inspirasi seputar cinta dan hubungan. Semoga tulisan-tulisan di sini bisa menemani dan memberi warna di perjalanan cinta kamu.
Aku bertemu Raka saat aku masih terlalu muda untuk memahami apa itu cinta. Ia kakak kelas satu tahun di atasku, duduk di bangku SMP dengan rambut acak-acakan dan senyum yang tidak pernah benar-benar rapi. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku berhenti di lorong sekolah, hanya untuk menatap lebih lama.
Kami mulai dari obrolan singkat di kantin, lalu saling tukar buku, lalu saling tunggu di gerbang sekolah. Cinta kami tumbuh seperti benih yang tak sengaja jatuh di tanah subur: tidak direncanakan, tapi tak bisa dihentikan. Tiga bulan kemudian, dia menyatakan cinta. Dengan suara yang gemetar, tapi mata yang yakin. Aku menerima. Dan sejak hari itu, hidupku berubah.
Kami tumbuh bersama. Dari remaja yang belum tahu apa-apa, menjadi dua orang dewasa yang saling mengisi. Kami bertengkar, berbaikan, saling mendukung saat skripsi, saling menangis saat gagal. Tapi cinta kami tidak pernah benar-benar pudar. Kami seperti dua pohon yang akarnya saling melilit, meski batangnya kadang menjauh.
Di tahun ketujuh, kami merasa dewasa. Terlalu dewasa, mungkin. Malam itu, kami melanggar batas yang selama ini kami jaga. Tidak ada lilin, tidak ada musik romantis. Hanya rasa percaya dan cinta yang terlalu besar untuk ditahan.
Kami tidak tahu bahwa satu malam itu akan mengubah segalanya.
Tubuhku berubah. Aku tahu ada yang berbeda. Payudara yang nyeri, mual di pagi hari, dan intuisi yang tak bisa dijelaskan. Aku membeli test pack dengan tangan gemetar. Satu garis. Lalu dua.
Aku hamil.
Raka terdiam. Lalu memelukku. “Kita akan hadapi ini,” katanya. Tapi kami tahu, ini bukan hanya tentang kami. Ini tentang dua keluarga yang kami hormati lebih dari apapun. Kami tahu bahwa satu kesalahan bisa menghapus tujuh tahun cinta di mata orang tua kami.
Aku mulai mengenakan gamis longgar. Menghindari acara keluarga. Menghapus jejak di media sosial. Setiap pagi, aku berdiri di depan cermin, bertanya: apakah hari ini perutku terlihat?
Kami mencoba menggugurkan. Klinik gelap, pil herbal, doa yang berbisik. Tapi Tuhan seperti menahan tangan kami. Setiap usaha gagal. Setiap malam, aku menangis di dada Raka, bertanya apakah kami pantas menjadi orang tua.
Raka mulai berubah. Ia lebih pendiam, lebih sering termenung. Tapi ia tetap di sisiku. Kami berdua tahu: kami sedang tenggelam, tapi tak bisa berenang ke permukaan.
Di bulan keenam, aku merasa janin itu bergerak. Seperti mengetuk dari dalam, meminta untuk didengar. Aku mulai berbicara padanya. “Maaf ya, Nak. Mama takut.”
Raka mulai rajin salat, membaca buku parenting, bahkan menyiapkan nama. Ia bilang, “Kalau Tuhan masih menjaga anak ini, mungkin kita harus belajar menjaga juga.”
Aku mulai percaya bahwa mungkin, ini bukan hukuman. Mungkin ini adalah pelajaran. Atau bahkan anugerah yang datang terlalu cepat.
Akhirnya, kami duduk di ruang tamu. Aku menggenggam tangan Raka, jantungku seperti ingin melompat keluar. “Ma, Pa… aku hamil.”
Keheningan. Lalu air mata. Tapi bukan amarah. Ibuku memelukku. Ayah Raka menepuk bahunya. “Kita nikahkan kalian bulan depan,” kata mereka.
Aku menangis. Bukan karena takut, tapi karena cinta yang begitu besar dari orang-orang yang kami kira akan membenci. Mereka tidak menyalahkan. Mereka hanya ingin kami bertanggung jawab.
Pernikahan kami sederhana tapi hangat. Semua keluarga hadir. Tidak ada bisik-bisik, hanya senyum dan pelukan.
Aku mengenakan gaun putih yang longgar. Perutku sudah besar. Tapi aku merasa cantik. Raka menatapku seperti aku satu-satunya wanita di dunia.
Kami tidak menikah karena tradisi. Kami menikah karena cinta, karena tanggung jawab, dan karena keberanian untuk berkata jujur.
Di tengah resepsi, aku merasakan kontraksi. Panik. Raka menggendongku ke mobil. Kami melaju ke rumah sakit.
Tiga jam kemudian, aku melahirkan. Bayi perempuan. Tangisnya seperti lagu pengampunan. Semua keluarga datang. Tidak ada yang marah. Hanya haru.
Malam itu, aku menjadi istri dan ibu dalam satu hari. Malam itu, cinta kami lahir dua kali.
Untuk Mama dan Papa, yang memilih cinta daripada amarah. Untuk keluarga Raka, yang memelukku seperti anak sendiri. Untuk Tuhan, yang menahan tangan kami agar tidak melakukan kesalahan lebih besar.
Dan untuk Raka, yang tetap di sisiku saat dunia terasa runtuh.
“Kami bukan pasangan sempurna. Tapi kami dikelilingi oleh cinta yang sempurna. Terima kasih, untuk segalanya.”