
Ade Rahmad Suprasetya
FreelanceMenulis di Beritacinta, saya berbagi cerita, tips, dan inspirasi seputar cinta dan hubungan. Semoga tulisan-tulisan di sini bisa menemani dan memberi warna di perjalanan cinta kamu.
Aku duduk di depan laptop tua yang layarnya berkedip, di kamar kos sempit yang dindingnya penuh coretan motivasi buatan sendiri. Di luar, suara motor berderu, sesekali terdengar anak-anak bermain petasan meski bukan musimnya. Tapi di dalam kepalaku, hanya ada satu suara: “Kirim saja naskahnya.”
Sudah tiga bulan aku berhenti kerja dari kantor desain grafis di Surabaya. Gajinya lumayan, tapi hatiku tidak pernah benar-benar ada di sana. Aku ingin menulis. Bukan sekadar caption Instagram atau copy iklan, tapi cerita—cerita yang bisa membuat orang berhenti sejenak dan merasa dimengerti.
Yang membuatku bertahan sejauh ini adalah satu orang: Dinda.
Dinda bukan pacarku. Bahkan aku tak yakin dia tahu aku pernah naksir dia sejak SMA. Tapi entah bagaimana, kami mulai sering ngobrol lagi lewat DM Instagram sejak aku unggah cerpen pertamaku di blog. Dia baca, dia komentar, dia bahkan kirim voice note panjang yang isinya kritik dan pujian. Sejak itu, dia jadi semacam editor pribadi, cheerleader, sekaligus pengingat bahwa aku tidak sendirian.
Aku belum berhasil. Tapi Dinda tetap ada. Dan itu cukup untuk membuatku bangun pagi dan menyalakan laptop tua ini lagi.
Laptop ini sudah dua kali mati mendadak. Tapi aku tetap menyalakannya setiap pagi. Di layar Word yang sederhana, aku mulai menulis naskah novel pertamaku. Judul sementaranya: Langit di Atas Lamongan. Dinda bilang judulnya terlalu puitis. Tapi aku suka.
Setiap malam, aku kirimkan satu bab ke Dinda lewat email. Dia baca, dia koreksi, dia beri komentar. Kadang dia hanya bilang, “Bagus.” Kadang dia tulis dua paragraf panjang tentang karakter yang terasa datar. Tapi aku tahu, dia peduli.
Suatu malam, aku hampir menyerah. Naskahku terasa hambar. Aku merasa bodoh. Tapi Dinda kirim voice note:
“Kalau kamu gagal, itu bukan akhir. Itu cuma jeda. Kamu nulis bukan buat terkenal, tapi buat jujur.”
Aku menangis malam itu. Diam-diam. Sambil minum teh hangat yang kubuat sendiri. Rasanya seperti pelukan.
Aku kirim naskah ke dua penerbit digital. Dua minggu kemudian, dua email masuk. Dua penolakan. Katanya, “Belum sesuai dengan visi kami.” Aku tahu itu kalimat sopan untuk “tidak layak.”
Aku kirim screenshot ke Dinda. Dia balas dengan satu kalimat:
“Penolakan bukan akhir. Itu tanda kamu sudah mulai.”
Tagihan listrik menunggak. Aku menulis dengan cahaya lilin. Dinda datang membawa power bank dan nasi goreng. Katanya, “Penulis harus tetap makan.”
Kami makan sambil membaca ulang bab ke-7. Dia bilang, “Tokoh utamamu terlalu mirip kamu. Tapi itu justru yang bikin jujur.”
Suatu sore, Dinda bilang, “Kalau kamu jadi penulis besar nanti, kamu mau tinggal di mana?”
Aku jawab, “Di mana pun asal ada kamu.”
Dia tertawa. Tapi aku tahu, dia mendengar.
Aku mulai menulis naskah kedua. Lebih jujur, lebih berani. Dinda bilang, “Kamu mulai menemukan suara kamu sendiri.”
Aku kirim ke penerbit indie. Mereka bilang akan mempertimbangkan. Itu belum jawaban, tapi cukup untuk membuatku menulis lagi.
Ibuku menelepon. Katanya, “Kapan kamu kerja lagi?”
Aku diam. Aku tak bisa menjelaskan bahwa menulis bukan hobi. Ini panggilan.
Dinda tahu aku gelisah. Dia kirim pesan:
“Kamu tidak harus menjelaskan mimpimu ke semua orang. Cukup jalani.”
Dinda diterima kerja di Jakarta. Aku panik. Aku takut kehilangan satu-satunya cahaya.
Tapi dia bilang, “Aku pergi bukan untuk menjauh. Aku pergi supaya kamu bisa berdiri sendiri.”
Aku menulis bab terakhir malam itu. Tentang kehilangan, tentang harapan, tentang cinta yang tidak menuntut balasan.
Hari ini, aku belum berhasil. Bukuku belum terbit. Blogku masih sepi. Tapi aku menulis setiap hari.
Dan Dinda masih membaca. Meski dari jauh.
Aku tahu, mimpi ini belum selesai. Tapi aku juga tahu, aku tidak sendiri.
“Kalau mimpi adalah perjalanan, maka kamu adalah jalannya.”