Ambar Arum Putri Hapsari
mahasiswa Universitas STEKOM, BERITA CINTAMenulis di Beritacinta, saya berbagi cerita, tips, dan inspirasi seputar cinta dan hubungan. Semoga tulisan-tulisan di sini bisa menemani dan memberi warna di perjalanan cinta kamu.
Aku berbeda dengan kebanyakan teman sebayaku. Sejak kecil, aku tidak punya pengalaman soal cinta-cintaan.
Teman-temanku sering punya cerita cinta dari SD, sementara aku tidak. Katanya, setiap orang pasti punya kisah cinta dari kecil, ya kan? Hayo ngaku, wkwk.
Ketika SMP, barulah aku mulai hampir mengerti soal cinta. Saat itu aku dikenal sebagai sosok yang tertutup, orang bilang, “spek ukhti.”
Ada seorang cowok yang mengatakan kalau dia suka aku apa adanya. Tapi, dia mengungkapkan dengan kalimat “Kamu alim banget kayak ukhti.”
Aku sempat bingung, bukankah itu berarti dia suka karena “ada apanya”? Bukan benar-benar aku. Jadi, aku hanya menganggapnya tahu saja, tidak lebih.
Kemudian, saat corona melanda, sekolah diliburkan dua minggu yang terasa seperti dua tahun. Hingga akhirnya, aku lulus lewat Zoom Meeting.
Saat itu, terungkap juga kata-kata yang membuatku terkejut “Aku suka kamu.” Ternyata, cowok yang dulu suka padaku malah menjadikan aku sebagai motivasi untuk lebih religius.
Tapi sayangnya, hal itu juga memengaruhi sahabatku. Dia ikut-ikutan menjadi lebih tertutup dan akhirnya juga menyukai cowok itu.
Aku terjebak di antara rasa suka dan persahabatan.
Pada akhirnya, sahabatku dan aku tidak lagi berteman karena hal itu. Saat itulah aku sadar, begini rasanya terjebak dalam harapan palsu, sekaligus kehilangan sahabat sendiri. Sedih, iya. Tapi aku berusaha ikhlas.
Saat masuk SMK, barulah aku merasakan pertama kali berpacaran. Lucunya, hubungan itu berawal dari tugas kelompok. Cowok itu mengaku jatuh cinta padaku, dan akhirnya confess.
Aku bingung, tapi tetap menerimanya. Padahal, kami belum terlalu saling mengenal.
Keputusan itu menjadi penyesalan besar. Selama enam bulan berpacaran, aku selalu menahan diri dari bentakannya. Sikapnya penuh red flag.
Akhirnya, aku memberanikan diri meminta putus. Tapi ternyata, dia tidak bisa menerima. Sejak saat itu, teror pun datang.
Ia menerorku selama dua tahun penuh, bahkan hingga aku lulus SMK. Sampai sekarang, dia masih berusaha mencari aku. Terornya lewat chat, tapi tetap membuat takut, apalagi dia tahu alamatku, nomor WA, akun media sosial, bahkan email. Lebih menakutkan lagi, dia selalu ganti akun, nomor, dan perangkat. Rasanya benar-benar bikin lelah dan takut.
Meski pahit, semua itu memberiku pelajaran berharga tentang arti cinta. Butuh waktu lama, tapi akhirnya aku bertemu seseorang yang benar-benar tulus. Dia tidak hanya membuatku merasa aman, tapi juga bahagia.
Meski dia bukan cowok pertama dalam perjalanan cintaku, dialah yang bisa disebut sebagai cinta pertamaku, setelah cinta sejati yang pertama, yaitu ayahku.