Waktu itu aku pernah membayangkan...
Kelak, aku akan berjalan di sisimu, bukan hanya dalam diam, bukan hanya dalam lamunan. Tapi betul-betul nyata. Aku, kamu, dan dunia yang seakan mendukung tawa-tawa kecil kita. Tangan kita bertaut, langkah seiring, dan hati tak lagi ragu.
Anganku sederhana
Aku ingin sekali merasakan bagaimana rasanya menatap matamu sambil menahan tawa karena candaan kecilmu. Duduk berdua, menikmati sepiring makanan hangat yang kita pesan tanpa banyak pikir. Menikmati sore tanpa gawai, hanya percakapan dan angin.
Namun
Bayang-bayang, tetaplah bayang-bayang. Ia tak bisa kusentuh, tak bisa kugenggam. Aku tersadar, ternyata aku hanya penumpang sementara di stasiun hidupmu. Dan engkau... barangkali hanya sekilas datang, lalu pergi tanpa benar-benar ingin menetap.
Kini, kuikhlaskan kau menjadi asing dalam setiap khayalku.
Tak apa, jika kau akhirnya menggenggam tangan yang lain. Aku turut bahagia, sungguh.
Karena setiap jiwa memang berhak memilih siapa yang ia semogakan. Semoga kau benar-benar bertemu dia yang kau cari.
Dan untuk diriku sendiri
Terima kasih. Terima kasih karena tetap memilih untuk mencintai, meski tak dibalas.
Terima kasih karena tetap memberi kebaikan, meski tak dihargai. Terima kasih karena masih berani berharap, walau harapan itu kini telah kubungkus rapi dan kutanam dalam-dalam.
Langit mungkin muram hari ini, tapi tak selamanya ia tak berwarna.
Esok, akan ada pagi lain yang datang. Dan aku akan kembali berjalan, membawa diriku yang baru, lebih kuat, lebih tenang, lebih ikhlas.
Tetap semangat, wahai hatiku.
Teruslah berbuat baik.
Dan jangan pernah, jangan sekali-kali putus asa