Awalnya semua terasa biasa saja. Aku pindah ke Semarang demi melanjutkan program studi, menyusun hidup dari awal. Rutinitasku teratur: pagi berangkat kerja, siang pulang, malam istirahat. Hidupku cukup stabil meski setelah putus cinta beberapa waktu lalu, ada ruang kosong di hatiku yang belum benar-benar pulih.
Sampai akhirnya, datanglah dia.
Kita sebut saja dia Asep (samaran). Hari itu, dia masuk sebagai karyawan baru dan tanpa diduga duduk tepat di depanku. Pertemuan pertama kami pun sangat... unik.
Kakinya menyenggol kakiku. Berkali-kali. Tak lama, sebuah pesan masuk ke WhatsApp-ku:
“Maaf ya kesenggol, nanti nggak bakal kesenggol lagi kok. Tapi nggak tahu juga sih kalau udah beberapa jam kemudian kesenggol lagi atau nggak wkwk.”
Lucu. Sopan. Dan jujur... bikin aku senyum-senyum sendiri.
Dari situlah semuanya mulai berjalan. Kami jadi lebih sering ngobrol, bercanda lewat chat, kadang saling tukar makanan, bahkan mulai saling bercerita soal kehidupan pribadi. Aku, yang baru saja kehilangan arah karena patah hati, mulai merasa... mungkin, ini jalanku untuk membuka hati lagi.
Tiap dia cemburu karena aku terlalu akrab dengan teman kantor lain, aku merasa berarti. Aku pikir, dia memperhatikanku. Aku pikir, dia berbeda.
Aku sempat berpikir:
“Mungkin ini semesta yang kasih aku orang baru, yang bikin aku nyaman lagi.”
Tapi semua itu berubah.
Satu hari, aku bercerita pada teman kantorku, dengan semangat dan tatapan penuh harapan,
“Kayaknya aku suka deh sama Asep. Dia orangnya nyambung banget, aku cocok ngobrol sama dia…”
Dan tanpa aba-aba, jawaban temanku langsung membalikkan semua rasa hangat itu:
“Loh... dia itu kan lagi deket juga sama Mbak Ila.”
Aku langsung terdiam. Gimana mungkin? Bukannya kami sedang... membangun sesuatu?
Ternyata tidak.
Tak lama kemudian, aku tahu dia juga perhatian ke banyak cewek lain di kantor. Bukan hanya Mbak Ila. Ada yang katanya sering dia ajak makan siang, ada yang suka dia puji di grup kantor, dan... setiap karyawan baru cewek yang masuk, dia langsung jadi "sosok paling ramah".
Terakhir, seorang perempuan baru yang masuk ke kantor. Cantik, cerdas, punya aura yang menyenangkan. Dan yap Asep langsung mendekatinya juga. Bahkan kali ini, lebih terang-terangan.
Di titik itu, aku mulai sadar:
Mungkin selama ini aku cuma salah satu dari sekian banyak “target nyaman”nya. Yang dia buat merasa spesial hanya untuk memuaskan egonya sendiri.
Aku tidak marah. Tidak juga membenci. Tapi aku kecewa.
Kecewa pada caraku yang terlalu cepat berharap. Kecewa pada perasaan yang sempat kupikir istimewa. Dan lebih dari itu, kecewa karena lagi-lagi harus menghadapi kenyataan: tidak semua orang yang datang membawa perhatian, berarti membawa niat baik.
Sekarang aku belajar:
“Perhatian bisa datang dari siapa saja, tapi yang tulus itu langka. Dan yang benar-benar niat hadir dalam hidupmu... nggak akan membuatmu merasa kamu harus bersaing untuk diperhatikan.”
Untuk Asep dan para "Asep" lainnya di luar sana, semoga kalian sadar bahwa jadi menyenangkan itu baik, tapi kalau niatnya untuk bikin semua orang merasa spesial demi validasi itu bukan kebaikan, itu manipulasi.
Dan untukku:
Terima kasih karena masih berani merasakan. Meski pada akhirnya, luka yang datang lagi-lagi membuatmu belajar.