Mimpi Besar Laras
Hujan mengguyur Gresik sore itu. Bukan gerimis manja, melainkan hujan deras yang membasahi bumi, mengguyur atap rumah Danu dan Laras dengan ritme yang menenangkan. Di dalam, mereka duduk berdua di ruang tengah, ditemani cahaya temaram lampu dan aroma kayu manis dari teh hangat. Di atas meja, terhampar kertas-kertas berisi coretan, angka, dan sketsa kasar. Mereka sedang merencanakan masa depan.
“Jadi, begini,” Laras memulai, menunjuk sebuah diagram alur yang ia buat dengan spidol warna-warni.
“Kita akan membuka toko batik online dengan nama ‘Batik Laras Danu’. Kita fokus pada penjualan online dulu, karena modal kita terbatas. Kita buat website yang profesional, kita optimasi SEO-nya, dan kita aktif di media sosial.”
Danu mengangguk, menyimak dengan seksama.
“Nama yang bagus. Mudah diingat dan mencerminkan identitas kita. Tapi, bagaimana dengan modalnya? Kita tidak punya banyak uang untuk membuat website yang bagus dan membayar biaya promosi.”
Laras tersenyum penuh keyakinan.
“Aku sudah bicara dengan beberapa teman yang punya bisnis online. Mereka bilang, kita bisa mulai dengan yang gratisan dulu. Kita bisa pakai platform e-commerce yang sudah ada, seperti Tokopedia atau Shopee. Kita optimalkan foto produk kita, kita buat deskripsi yang menarik, dan kita manfaatkan fitur promosi gratis yang mereka tawarkan.”
“Itu ide yang bagus,” Danu mengakui.
“Tapi, bagaimana dengan persaingan? Ada banyak sekali toko batik online di luar sana. Apa yang membuat kita berbeda?”
Laras mengangkat dagunya, matanya berbinar.
“Kita punya keunggulan kompetitif, Danu. Pertama, kita punya kualitas. Batik kita dibuat dengan tangan, dengan cinta, dengan bahan-bahan alami. Itu tidak bisa ditiru oleh pabrik. Kedua, kita punya cerita. Kita bisa menceritakan kisah di balik setiap motif, kita bisa berbagi proses pembuatannya, kita bisa melibatkan pelanggan dalam perjalanan kita.”
Ia meraih tangan Danu, menggenggamnya erat.
“Orang-orang tidak hanya membeli produk, Danu. Mereka membeli cerita, mereka membeli nilai, mereka membeli pengalaman. Dan kita punya itu semua.”
Danu tersenyum, terharu mendengar semangat Laras. Ia tahu, Laras adalah seorang visioner, seorang pemimpi yang tak kenal lelah. Ia selalu punya ide-ide brilian, dan ia selalu tahu bagaimana mewujudkannya.
“Aku percaya padamu, Laras,” kata Danu tulus.
“Aku percaya pada kita. Kita bisa melakukan ini bersama-sama.”
Mereka melanjutkan diskusi mereka, membahas detail-detail kecil, dari logo toko, kemasan produk, hingga strategi pengiriman. Laras mendominasi percakapan, dengan ide-idenya yang berapi-api, sementara Danu memberikan masukan yang bijaksana, menyeimbangkan ambisi Laras dengan realitas yang ada.
“Setelah toko online kita berjalan lancar, kita akan membuka toko fisik,” kata Laras, matanya menerawang jauh.
“Toko yang indah, dengan desain interior yang unik, yang mencerminkan kepribadian kita. Kita akan pajang semua koleksi batik kita di sana, kita akan adakan workshop batik, kita akan undang seniman-seniman lain untuk berkolaborasi.”
“Dan di belakang toko, kita akan bangun rumah impian kita,” sambung Danu, senyumnya mengembang.
“Rumah dengan halaman yang luas, dengan taman bunga yang indah, dengan kolam ikan yang tenang. Rumah tempat kita bisa menua bersama, dikelilingi oleh anak-anak dan cucu-cucu kita.”
Laras tertawa, membayangkan masa depan yang indah itu. “Kamu selalu bisa membuatku bermimpi lebih besar, Danu. Aku mencintaimu karena itu.”
Mereka saling berpandangan, mata mereka bertemu dalam kehangatan dan cinta. Di luar, hujan semakin deras, seolah ikut merayakan mimpi-mimpi mereka.
“Aku janji, Laras,” kata Danu, suaranya serius.
“Aku akan bekerja keras untuk mewujudkan semua ini. Aku akan selalu ada di sampingmu, mendukung setiap langkahmu. Aku akan menjadi suami yang baik, ayah yang baik, dan mitra bisnis yang baik.”
Laras membalas tatapan Danu, air mata haru menggenang di pelupuk matanya.
“Aku juga janji, Danu. Aku akan selalu mencintaimu, menghormatimu, dan mendukungmu. Aku akan menjadi istri yang baik, ibu yang baik, dan mitra bisnis yang setia.”
Mereka berpegangan tangan erat, mengucapkan janji-janji suci di bawah derasnya hujan. Janji tentang cinta abadi, tentang kesetiaan yang tak tergoyahkan, dan tentang mimpi-mimpi yang akan mereka wujudkan bersama.
Namun, di balik janji-janji itu, ada bayangan keraguan yang mulai menghantui Laras. Ia tahu, mewujudkan mimpi itu tidaklah mudah. Dunia bisnis itu keras, penuh dengan persaingan dan ketidakpastian. Ia takut, suatu hari nanti, ia tidak bisa memenuhi janjinya. Ia takut, ambisinya akan menggerogoti cintanya pada Danu.
Ia tidak mengungkapkan ketakutannya pada Danu. Ia tidak ingin membebani suaminya dengan keraguannya. Ia ingin Danu tetap percaya pada mimpi mereka, pada cinta mereka. Ia ingin Danu tetap menjadi jangkar yang menahannya agar tidak terbawa arus ambisi.
Malam itu, mereka tidur berpelukan, mencari kehangatan dan ketenangan di dalam dekapan masing-masing. Di luar, hujan masih terus mengguyur, seolah mencuci bersih segala keraguan dan ketakutan. Namun, di dalam hati Laras, benih-benih keraguan itu masih tetap tumbuh, perlahan tapi pasti, menunggu saat yang tepat untuk mekar.
Esok harinya, mereka mulai bekerja keras untuk mewujudkan rencana mereka. Mereka membuat website sederhana, mengambil foto produk yang menarik, dan menulis deskripsi yang menggugah selera. Laras menghubungi teman-temannya untuk meminta bantuan promosi, sementara Danu fokus pada produksi batik, memastikan setiap detail sempurna.
Mereka bekerja tanpa lelah, dari pagi hingga malam, mengorbankan waktu istirahat dan hiburan mereka. Mereka tahu, kesuksesan tidak datang dengan sendirinya. Mereka harus berjuang, mereka harus berkorban, mereka harus memberikan yang terbaik.