
Ade Rahmad Suprasetya
FreelanceMenulis di Beritacinta, saya berbagi cerita, tips, dan inspirasi seputar cinta dan hubungan. Semoga tulisan-tulisan di sini bisa menemani dan memberi warna di perjalanan cinta kamu.
Danu dan Laras mengukir kisah cinta mereka di tengah aroma malam dan canting batik di Gresik. Mereka adalah pasangan seniman batik tulis yang saling melengkapi namun kontras. Danu adalah sosok yang tenang, seorang perfeksionis yang melihat batik sebagai narasi dan jiwa. Ia adalah jangkar yang menahan Laras agar tetap stabil, kompas moral yang menjunjung tinggi kualitas di atas kecepatan. Laras adalah lokomotif ambisi. Ia memiliki visi bisnis yang tajam, didorong oleh trauma kemiskinan masa lalu dan ketakutan akan ketidakpastian. Ia berulang kali menyuarakan kekhawatiran bahwa cinta saja tidak bisa membayar sewa.
Meskipun berbeda, mereka berbagi mimpi besar: rumah luas, ruang pamer, dan kesuksesan finansial. Danu selalu meyakinkannya bahwa cinta adalah fondasi yang harus dijaga agar mimpi apa pun bisa dibangun di atasnya. Mereka mulai merintis usaha online 'Batik Laras Danu', berfokus menjual kualitas, nilai, dan cerita.
Ujian pertama datang ketika Laras, terbuai euforia, menerima pesanan seratus potong batik dengan tenggat waktu yang tidak realistis. Konflik muncul karena Danu menolak mengorbankan kualitas demi kecepatan, berhasil mengingatkan Laras bahwa reputasi adalah segalanya.
Namun, ketika roda bisnis melambat, pesanan sepi, utang menumpuk, dan modal menipis, tekanan ekonomi nyata mulai mengguncang. Laras yang frustrasi berubah menjadi dingin, keras, dan sering menyalahkan Danu, menuduhnya kurang ambisius dan melukis batik yang tidak laku.
Dalam keputusasaan, Laras membuat keputusan sepihak: mencari pinjaman besar dari investor dengan syarat menjaminkan rumah kecil mereka. Danu, yang terkejut dan hancur, akhirnya hanya bisa mendukung dengan hati yang berat. Ia merasa cintanya semakin tidak dihargai dan tidak dipercaya.
Hubungan mereka semakin dingin, dikuasai oleh "Tuntutan"—metafora tekanan finansial yang mengubah kasih sayang menjadi transaksi dingin.
Puncak kehancuran terjadi saat Laras menolak sentuhan Danu dan berkata, “Kalau kamu mau aku temani malam ini, kamu harus bantu bayar cicilan utang dulu.”
Pernyataan itu menghantam Danu seperti palu godam. Ia terkejut dan terluka, menyadari bahwa cintanya telah dijadikan alat barter yang harus dibayar dengan uang. Ia menolak: "Aku tidak bisa terus membayar untuk mendapatkan cintamu." Danu, yang merasa tidak berdaya, memilih untuk pergi, meninggalkan Laras dan beban yang tak sanggup ia pikul.
Tak lama kemudian, Laras mengiriminya surat. Ia mengakui penyesalannya, kegilaan ambisinya, dan permintaan maaf karena telah melukai Danu dan melanggar janji suci mereka. Ia menyadari bahwa kehangatan Danu lebih berharga daripada kesuksesan finansial yang dingin.
Kisah ini berakhir dengan akhir yang terbuka. Danu, mencari kedamaian di desa terpencil, memegang surat itu. Ia kini harus memutuskan: apakah ia akan memaafkan Laras dan membangun kembali fondasi mereka, atau melanjutkan hidup masing-masing? Cerita ini menegaskan bahwa cinta sejati adalah pemberian yang tak ternilai harganya, dan tak layak dijadikan harga dalam transaksi dunia.