Purnama.
Indah sekali, bukan?
Bahkan sebelum engkau muncul di langit, aku sudah menunggu. Ada sesuatu yang membuat hati ini tenang hanya dengan memikirkan kehadiranmu. Cahaya putihmu seolah menenangkan riuh dunia. Kau hadir bukan sekadar untuk dilihat, tetapi untuk dirasa, di dalam dada, di sela-sela napas.
Setiap kali purnama datang, langit menjadi kanvas, dan engkau adalah lukisan paling terang di atasnya. Aku duduk memandangimu, berharap jarak ini bisa terjembatani, meski aku tahu mustahil untuk menggenggammu. Tapi bukankah indahnya purnama justru ada pada jarak yang tak bisa ditembus itu?
Awan yang Menutupi
Tak jarang, saat waktumu bersinar penuh, awan kelabu menutupi pandanganku. Aku tahu engkau tetap ada di sana, namun mataku tak mampu melihatmu.
Rasanya seperti engkau sengaja bersembunyi, meninggalkanku bertanya-tanya, “Apakah kau masih memancarkan cahaya itu untukku?”
Malam-malam mendung itu adalah ujian… tentang kesabaran, tentang percaya pada yang tak terlihat.
Sebab meski mataku tak bertemu dengan sinarmu, hatiku tahu engkau tak pernah benar-benar pergi. Sama seperti seseorang yang kita cintai, meski raganya jauh, jejak kehadirannya tetap menetap di ruang batin.
Sosok Purnama Itu
Kau, bagiku, adalah purnama. Sosok yang tak hadir setiap saat, namun ketika datang, mampu memenuhi seluruh ruang dengan cahaya. Kau bawa hangat yang tak membakar, namun cukup untuk mengusir gelap.
Namun, sama seperti bulan, engkau pun punya kala redup.
Ada masanya engkau hanya setengah, seperempat, atau bahkan menghilang sepenuhnya dari pandanganku. Aku tak menyalahkanmu, sebab begitulah kodrat purnama, tidak untuk selalu sempurna, namun untuk selalu kembali.
Kerinduan yang Berulang
Setiap siklus membuatku kembali merindukanmu. Ketika engkau penuh, aku bersyukur.
Ketika engkau pergi, aku menghitung hari hingga sinarmu datang lagi. Mungkin inilah keindahan purnama, kehadirannya mengajarkan arti kehilangan, dan kehilangan itu sendiri membuat setiap pertemuan jadi lebih berharga.
Engkau bukan sekadar bulan di langit. Engkau adalah perasaan itu sendiri.
Engkau adalah nama yang kusebut dalam doa tanpa suara, adalah wajah yang muncul di ujung ingatan, adalah cahaya yang tak pernah padam meski mata tak melihatnya.
Dan aku, di sini, akan selalu menunggumu. Meski mendung kadang menghalangi, meski malam kadang terasa terlalu panjang, aku tahu, purnama akan kembali. Begitu pula engkau.