
Ambar Arum Putri Hapsari
mahasiswa Universitas STEKOM, BERITA CINTAMenulis di Beritacinta, saya berbagi cerita, tips, dan inspirasi seputar cinta dan hubungan. Semoga tulisan-tulisan di sini bisa menemani dan memberi warna di perjalanan cinta kamu.
Hidup yang Terlalu Lurus
Aku mahasiswa biasa. Tidak populer, tidak juga ambisius. Rutinitasku sederhana: siang bekerja, malam kuliah. Hari-hari berjalan seperti algoritma, terukur dan logis, tanpa banyak kejutan. Dan untuk urusan perasaan, aku lebih sering menutup pintu.
Mungkin karena terlalu terbiasa menghadapi hidup dengan kepala, bukan hati. Hingga suatu sore, semesta menggeser porosku.
Dia datang. Mahasiswa baru. Tak banyak bicara. Tak banyak gerak. Tapi kehadirannya langsung memicu sesuatu dalam diriku. Bukan cinta, bukan kagum. Tapi seperti elektron yang tiba-tiba kehilangan stabilitas karena medan tak terlihat.
Tak lama setelah itu, kantor tempatku magang mengadakan acara. Aku ditunjuk untuk memilih rekan yang akan bertanya dalam forum. Biasanya aku memilih berdasarkan objektivitas: siapa yang siap, siapa yang mumpuni. Tapi entah kenapa, aku menyebut namanya.
Saat aku menawarkan bantuan, dia menolak halus, “Aku coba sendiri dulu.” Sederhana. Tapi jujur. Dan kalimat itu menancap dalam ingatanku.
Waktu dia akhirnya bertanya di forum, aku memperhatikannya. Lebih dari seharusnya. Dan setelah acara, aku mengirim pesan, berdalih ingin memberinya hadiah.
Padahal tujuanku hanya satu: membuka percakapan. Yang tak kusangka, chat itu berkembang jadi obrolan yang mengalir. Nyambung. Santai, tapi dalam. Rasanya seperti dua frekuensi yang saling menemukan resonansinya, bahkan sebelum kami sadar.
Beberapa hari kemudian, aku ingat janji ‘hadiah’ yang sempat kusebut. Kunikmati momen itu untuk membelikan es krim, kecil, receh, dan sederhana. Tapi saat dia menerimanya dengan senyum hangat, dunia seperti berhenti sejenak. Mungkin bukan soal es krimnya. Tapi tentang niat kecil yang dihargai dengan tulus.
Suatu hari, dia mengajakku berdiskusi soal ide pengembangan kantor. Dari cara dia bicara, cara dia merespons, dan memandang masalah, aku merasa sedang berbicara dengan versi lain dari diriku sendiri. Bukan hanya soal isi kepala, tapi juga isi jiwa. Dari sana, aku mulai sadar. Ini bukan ketertarikan biasa. Ini adalah rasa ingin hadir. Ingin tumbuh bersama. Ingin mengiringi langkahnya, bukan hanya sementara... tapi mungkin untuk waktu yang lama.
Aku sadar, hidup tak pernah bisa diprediksi. Perasaan pun begitu. Bisa jadi ini hanya fase. Bisa juga permulaan. Tapi kalau boleh berharap, aku ingin dia menjadi bagian dari garis hidupku.
Tak harus sekarang. Tak perlu terburu-buru. Tapi semoga... suatu hari nanti. Jika hidupku adalah sebuah buku, maka bab ini akan kutulis dengan judul:
“Ketika Elektron Tersesat Menemukan Orbitnya.”