Hubungan ini seringkali terasa seperti sebuah perjalanan antara kapal dan pelabuhan. Aku adalah kapal yang masih ingin berlayar jauh, mengarungi laut luas, mencoba menemukan arah dan tujuan sendiri.
Ada banyak hal yang masih ingin kucapai, banyak tempat yang ingin kusinggahi, sebelum akhirnya merasa pantas untuk berlabuh.
Sedangkan dia adalah pelabuhan. Tempat yang tenang, sabar, dan selalu menunggu.
Bahkan ketika aku berlayar terlalu jauh, atau tersapu badai yang kuciptakan sendiri, pelabuhan itu tetap berdiri di sana, tidak pernah bergeser. Dia sabar menghadapi hilangku, sabar menerima kebohongan kecil yang kadang masih kulakukan, sabar dengan semua kebimbanganku.
Namun, justru di situlah aku sering dilanda ragu. Aku bertanya pada diriku sendiri, apakah ini memang tentang kami yang bermasalah, atau justru aku yang terlalu takut membuka hatiku sepenuhnya? Mungkin aku takut kecewa. Mungkin aku takut, jika aku benar-benar bersandar, pelabuhan itu suatu saat tidak lagi sama.
Ketakutan dan Penantian
Kami tidak berbeda jauh usia, tapi jalan pikiran kami terasa berlawanan arah. Dia sudah siap untuk sesuatu yang lebih serius, sedangkan aku masih ingin berjalan sendirian, menguji langkahku, menaklukkan lautan. Dia berkata siap menunggu sampai aku siap. Dan entah benar atau tidak, aku mencoba mempercayainya.
Tetapi setiap kali aku memikirkan hubungan ini, aku selalu kembali pada ibarat itu. Aku sebagai kapal yang terus berlayar, dan dia sebagai pelabuhan yang menunggu dengan setia. Hanya saja, aku belum tahu, apakah pada akhirnya kapal ini benar-benar akan kembali ke pelabuhan itu, atau justru menemukan dermaga lain di ujung perjalanan.