Kala malam menjelma senyap dan angin membawa rindu dari arah tak tentu, aku termenung di balik jendela tua yang telah lama tak terbuka. Ada desir yang tak bisa kujelaskan, ada pergolakan batin yang kian hari kian menyempitkan dada.
Dua hati kini berdiri menghadapku, dan aku tak mampu memilih salah satu tanpa menyayat yang lain.

Bukan perkara cinta yang dangkal. Keduanya hadir dalam waktunya masing-masing, membawa kehangatan yang tak sama tapi serupa dalam makna.
Yang satu adalah rumah lama, tempat segala kenangan bersemayam, sedari awal aku belajar mencinta. Yang satu lagi adalah cahaya baru, datang tanpa kuundang, tapi menyalakan sisi hatiku yang telah lama padam.

Aku bukan tokoh utama dalam sandiwara roman, yang bisa berkelana dari satu pelukan ke pelukan lain tanpa luka. Hatiku bukan medan perang, tapi kini ia menjadi tempat di mana dua perasaan saling tarik-menarik. Aku ingin bahagia, tapi tak ingin ada air mata yang jatuh karena keputusanku.

Berat Rasa, Tak Ingin Ada yang Terluka

Jika saja aku bisa membelah hatiku menjadi dua dan memberinya pada masing-masing mereka, tentu segalanya lebih mudah. Tapi cinta bukanlah pembagian angka.
Ia adalah urusan rasa yang tak bisa dibagi rata, tak bisa dijustifikasi dengan logika. Dan di sinilah aku, diam dalam gelisah, menahan waktu yang terus mendesak pilihan.

Yang satu menanti kepastian, yang satu menyimpan harap. Aku pun terjebak di tengah, menjadi pelaku sekaligus korban dari perasaanku sendiri. Aku tak ingin menjadi cerita pahit dalam hidup siapa pun, tak ingin diingat sebagai angin yang membawa luka.

Namun kadang, demi tidak menyakiti siapa pun, kita justru menyakiti semuanya, termasuk diri sendiri.

“Bila satu pilihan adalah kehilangan, dan satu lagi adalah penyesalan, ke mana hendaknya kaki ini melangkah?”

Aku tahu, diamku kelak akan berubah menjadi keputusan. Entah keberanian untuk memilih atau kerelaan untuk kehilangan semuanya. Tapi satu yang pasti, kisah ini akan tertulis di lembar hidupku sebagai babak yang mengajarkanku: bahwa mencinta tak selalu tentang memiliki, kadang juga tentang melepaskan yang tak mungkin digenggam tanpa menyayat hati lain.