Aku menyadarinya perlahan, tapi pasti. Kata-katamu mulai berkurang, responmu mulai datar, dan kehadiranmu mulai terasa jauh bahkan saat kau masih di dekatku.
Senyum yang dulu kurindukan, kini hanya seperti formalitas. Percakapan yang dulu hangat, kini sunyi walau kita bicara.
Dan aku tahu, hubungan ini tak lagi sama. Kita tak lagi saling mengisi, hanya saling menghindari sepi.

Aku Sendiri Lagi, Tapi Bukan Salahmu

Aku tak menyalahkanmu.
Jika ada yang bersalah, mungkin itu aku, yang terlalu takut memberi sepenuhnya, terlalu kaku menjaga jarak, hingga akhirnya kamu merasa tak lagi punya ruang untuk tinggal.
Mungkin aku pengecut, karena tak berani menanggalkan trauma masa lalu.
Karena terlalu sibuk menjaga hati sendiri, hingga lupa bahwa kamu pun punya batas sabar yang tak bisa kutebak.

Dan ketika akhirnya kamu perlahan menjauh,

aku hanya bisa menatap punggungmu yang menjauh, tanpa memanggil, tanpa meminta kembali.
Bukan karena aku tak ingin… tapi karena aku tahu, semua yang dipaksakan hanya akan meninggalkan luka yang lebih dalam.

Aku Belajar Menerima

Aku mencoba mengerti.
Bahwa tidak semua yang datang harus tinggal, dan tidak semua yang singgah harus menetap.
Bahwa cinta tak selalu berarti memiliki, dan kenyamanan kadang hanya sementara.

Kini, aku kembali sendiri. Namun bukan seperti dulu.
Ada luka, iya. Tapi juga ada kenangan. Ada kehilangan, tapi juga ada pelajaran.

Terima Kasih, Meski Tak Lagi Sama

Jika suatu hari kamu membaca ini, ketahuilah aku menuliskannya bukan untuk menyalahkan.
Tapi untuk mengucapkan terima kasih karena pernah hadir.
Karena pernah membuat dunia yang datar ini terasa sedikit lebih hangat.
Dan meski akhirnya kita tak berjalan bersama, kamu akan selalu menjadi salah satu bab paling sunyi, dan paling aku ingat dalam perjalanan hatiku.